Selasa, 18 Desember 2012

Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan amanat Undang-undang No 5 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat UUPA, yang menjadi pokok Undang-undang dalam pembentukan  hukum pertanahan nasional di Indonesia. Sebagaimana  diketahui bahwa UUPA telah menghapus keanekaragaman perangkat hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan yang mana dalam pengaplikasiannya masih di dasarkan pada hukum adat.
Selain hukumnya UUPA juga men-unifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah terutama hak-hak atas tanah yang di dalamnya masih banyak melahirkan kontroversi maupun hak-hak jaminan atas tanah. Untuk menghindari hal itu dibutuhkan campur tangan dari penguasa, yang mengatur dan membatasi adany hak kepemilikan dibidang pertanahan. Dalam lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh Kepala berbagai persekutuan hukum, seperti Kepala atau Pengurus Desa. Bagi persekutuan-persekutuan hukum yang da di Indonesia yang bersifat kecil (bersifat territorial) hampir seluruh masyarakatnya bertitik tumpu pada pertanian, suatu wilayah bukan hanya menjadi tempat tinggal akan tetapi juga memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan si pemunya.[1] Dalam  ranah inilah UUPA berperan, dewasa ini banyak sekali kita jumpai sengketa tanah adat yang memang sangat pelik untuk diselesaikan, misalnya pada masayarakat pedalaman Sumatra Barat, pada salah satu pedesaan di daeah Banten, Kabupaten Paser dan Nunukan di Kalimantan Timur dan masih banyak lagi konflik tanah adat di Negara Indonesia ini.

Dimana dengan adanya  hal tersebut menimbulkan dan menunjukan adanya hak ulayat dalam masyarakat adat, yang keberadaannya dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) masih dipermasalahkan. Begitu juga statusnya dalam masyarakat adat itu sendiri. Maka dari itu, untuk lebih jelasnya penulis akan berusaha untuk mengelaborasikan secara terperinci dan  menjawab permasalahan tersebut diatas dalam bentuk tulisan yang berjudul “Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakan kedudukan hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) di Indonesia?
2. Apa saja yang termasuk dalam tanah ulayat tersebut?
  
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat
Hak ulayat adalah  kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang berhak sebagai pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Bab I pasal 3 PMA/KBPN No.5 tahun 1999 mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagi berikut: Masyarakat hokum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dalam Bab 2 PMA/KBPN No. 5 tahun 1999 menyebutkan adanya syarat-syarat untuk menunjang keberadaan hak ulayat secara berkesinambungan:
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga pesekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan,
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Meskipun demikian, peraturan ini membatasi klaim adat, pasal 3 menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat diklaim apabila tanah itu sudah dipunyai atau digunakan oleh orang atau pihak lain berdasarkan suatu hak atas tanah menurut UUPA atau apabila tanah tersebut telah dibebaskan oleh pemerintah. Berkenaan dengan otoritas dan sifat sementara dari klaim ulayat pasal 4 menetapkan bahwa wewenang pemuka-pemuka adat maupun oleh instansi pemerintah, atau badan hukum nasional lainnya. Demikian pula, apabila masyaarakat hukum adat menginginkan, pemuka adat dapat mendaftarkan tanah ulayat menurut hak perorangan atas tanah mengacu pada UUPA, dan sebagai konsekwensinya secara efektif menggantikan hak ulayat mereka dengan hak atas tanah menurut hukum nasional.[2]
Lahirnya UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) menjadi jantung perubahan mendasar bagi rakyat. Kebijakan hukum dalam UUPA sesungguhnya menentang kapitalisme sekaligus juga menentang liberalisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah, politik agraria yang terkandung dalam UUPA adalah populisme, artinya dalam UUPA 1960 didalamnya mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki fungsi sosial. Pemerinah mengatur agar tanah dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui prinsip hak menguasai dari negara. Nilai-nilai yang terdapat dalam UUPA itu juga diambil dari hukum adat, yang pada masa kolonial direndahkan posisinya dan dianggap sebagai hukum kaum tak beradab. Hukum adat yang digunakan sebagai sumber hukum UUPA adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan Negara dan Nasional, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, dan terahir bersumber pada sumber agama. [3]

B. Peraturan Agraria Di Indonesia                  
Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa. Pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agrarian (L.N. Tahun 1960 No. 104) yang dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan kata lain adanya UUPA ini telah menghapus dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria kolonial, dan berakhirnya dualisme dalam hukum agraria dan terselenggaranya unifikasi hukum.
Hukum agraria Indonesia Tahun 1960 ini didasarkan atas satu system hukum, yaitu hukum adat sebagai hukum asli Indonesia, yang kaidah-kaidahnya bersumber dari:
1. Hukum adat (Hukum Agraria Adat) yang menimbulkan hak-hak adat yang tunduk pada hukum agraria adat, misalnya: tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, dan lain-lain (tanah-tanah Indonesia);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (Hukum Agraria Barat) yang menimbulkan hak-hak barat atau hak-hak eropa yang tunduk pada Hukum Agraria Barat (tanah-tanah barat atau tanah-tanah eropa) misalnya: tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah postal dan lain-lain.

Di samping itu ada pula hak-hak atas tanah Indonesia yang tidak bersumber pada hukum adat, misalnya hak eigendom agraris. Pada Zaman Hindia asas-asas hukum agraria diatur dalam pasal 51 I.S. (Indische Staatsregeling).[4]

C. Tanah dalam UUPA
Bagi Negara republik Indonesia, dimana struktur kehidupan masyarakatnya yang mayoritas perekonomiannya bergerak dalam  bidang agraria, maka fungsi bumi (tanah), air, dan ruang angkasa serta semua yang terkandung di dalamnya amatlah penting sebagai sarana pokok dalam pembangunan menuju  masyarakat yang adil dan makmur.[5] Oleh karena itu dalam UUPA pasal 1 ayat 1 dinyatakan: Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia. Sedangkan dalam ayat 2-nya dinyatakan: Seluruh bumi,. Air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.Dan dalam pasal 4 ayat 1 selanjutnya dijelaskan bahwa: Atas dasar hak menguasai dari Negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunya oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.[6]. Hak menguasai atas tanah oleh  negara seperti yang dimaksudkan di pasal 4 ayat 1 dapat diartikan memberi wewenang pada negara untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memelihara tanah;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan tanah;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Jadi, hak menguasai oleh negara meliputi tanah-tanah yang sudah dihaki oleh seseorang atau badan hukum maupun atas tanah-tanah yang belum atau tidak. Perbedaannya, atas tanah-tanah yang sudah dihaki, yang menguasai oleh negara tanah tersebut, dibatasi oleh hak yang sudah dimiliki oleh peroranagan atau badan tersebut. Sedangkan pada tanah yang diatasnya tidak terdapat hak-hak, sifat penguasaannya oleh negara lebih luas dan lebih lanjut. Hubungan antara bangsa dengan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia merupakan suatu hubungan yang abadi; artinya selama rakyat Indonesia masih ada pula maka dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu  kekuasaan apapun yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dalam pengertian tersebut di atas tidaklah berarti bahwa hak-hak perseorangan atau badan hukum atas tanah tidak dimungkinkan lagi. Dalam UUPA masih dikenal adanya hak-hak yang dapat dipunyai perorangan atau badan hukum. Tetapi dalam hal ini hanya mengenai permukaan bumi saja, yaitu tanah yang dapat dihaki oleh seorang seperti hak milik, hauk guna usaha, hak guna bangunan dan sebagainya.[7]

D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali. Dan kekhawatiran dimana semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah akan semakin mendesak hak ulayat yang keberadaannya dijamin oleh pasal 3 UUPA. Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, kerena hak ulayat dan masyarakat adat sudah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia yakni 17 agustus 1945.[8]

Ciri-ciri masyarakat hukum adat:
1.    Adanya kelompok masyarakat.
2.    Mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari kekayaan perorangan.
3.    Mempunyai batas wilayah tertentu.
4.    Mempunyai kewenangan tertentu.[9]

Kedudukan hak ulayat ini berlaku kedalam (interen) dan keluar (eksteren), berlaku keluar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau memberikan ganti kerugian orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah tersebut. Berlaku kedalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagi suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup didalamnya.

Antara hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal balik, jika seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu secara terus-menerus dan menanam pohon diatas tanah tersebut, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu (UUPA pasal 20), hak milik ini harus menghormati:
1. Hak ulayat desanya;
2. Kepentingan-kepentingan yang memiliki tanah;
3. Peraturan-peraturan adat.

Bila kemudian tanah itu ditinggalkan oleh yang berkepentingan, maka tanah itu dipengaruhi oleh hak ulayat. Jika terjadi perselisihan, maka kepala adat yang akan mengambil beberapa tindakan untuk memulihkan perselisihan tersebut, seperti:
1.    Mengganti kerugian kepada orang yang dirugikan atau masyarakat adat;
2.  Membayar uang adat kepada persekutuan hukum yang bersangkutan.[10]

E. Eksistensi Hak Ulayat

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengerian fundamental tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni:
1.    Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi cirri-ciri tertentu subjek hak ulayat;
2.    Adanya tanah atau wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan objek hak ulayat;
3.    Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana telah diuraikan.

Dipenuhinya tiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup objektif sebagai kriteria penentu masih ada atau  tidaknya hak ulayat, sehingga walaupun ada masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut maka hak ulayat dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu pihak, bila hak ulayat memang sudah menipis,atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia sejak 17 agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba menghidupkan kembali hal-hal yang justru dapat mengaburkan kesadaran berbangsa dan bertanah air satu yakni Indonesia.

Dipihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada, maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajibannya oleh negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya, apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan (sesuai dengan fungsi sosial yang melekat pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus minta izin pada masyarakat hukum adat tersebut. Dan apabila diperlukan, juga memberikan pemulihan keseimbangan berupa apapun yang bermanfaat bagi keseluruhan anggota masyarakat hukum adat maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum tersebut antara lain, berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta pelestarian lingkungan nya. Kiranya diperlukan pengaturan tentang hak ulayat yang berisi pokok-pokok pikiran, antara lain:
1.    mengenai kriteria eksistensi hak ulayat;
2.    siapa saja yang terlibat dan berwenang menentukan eksistensi hak ulayat tersebut;
3.    mekanisme penentuan hak ulayat;
4.    penempatan/kedudukan hak ulayat dalam system hukum tanah nasional;
5.    hak-hak dan kewajiban yang melekat pada hak ulayat;
6.    ciri-ciri/sifat-sifat hak ulayat dan lain-lain.[11]

F.  Tanah-tanah Ulayat

Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok dibawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.[12]

G. Perbedaan Agrarian Adat Dengan Hukum Agrarian Barat

1. Hukum Agraria adat:
a.    Lembaga hukumnya diatur dalam hukum adat.
b.    Hukum yang mengaturnya (hukum adat) tidak tertulis.
c.    Melahirkan tanah hak adat yaitu:
-        Tanah ulayat
-        Tanah hak milik
-        Tanah hak pakai
d.   Tanah adat ini umumnya tidak terdaftar. Kalaupun sudah ada yang terdaftar maka jumlahnya hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah hak tanah yang ada misalnya: tanah milik perorangan yang sudah didaftarkan.
e.    Kalaupun pernah didaftarkan pendaftarannya itu hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, jadi secara yuridis bukan sebagai pembuktian hak. Pembuktian hak atas tanah itu didasarkan atas kesaksian.

2. Hukum Agraria barat;
a.    Lembaga hukumnya diatur dalam  hukum perdata barat yakni dalam buku II KUHPerdata/ Burgelijk Wetbook (BW).
b.    Hukum yang mengaturnya ialah hukum perdata barat sudah tertulis dan telah dikodifikasikan sebagai KUHPerdata/ BurgelijkWetbook (BW).
c.    Melahirkan tanah hak barat, misalkan:
-       Tanah hak eigendom
-        Tanah hak postal
-        Tanah hak erfpacht
-        Tanah hak gebruik dan sebagainya.
d.   Tanah-tanah barat ini umumnya sudah terdaftar dengan bukti tertulis
e.    Pendaftaran yang pernah dilakukan atas tanah tersebut telah mempunyai/ bernilai kekuatan bukti secara yuridis.[13]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak ulayat adalah  kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang berhak sebagai pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat.
Hak ulayat diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga pesekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Adapun ciri-ciri masyarakat hukum adat yaitu:
1. Adanya kelompok masyarakat.
2. Mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari kekayaan perorangan.
3. Mempunyai batas wilayah tertentu.
4. Mempunyai kewenangan tertentu.[14]

DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1986

IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual”, Land Reform,  semarang: IAIN Wali songo, 2007, Edisi 25

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981

Iswantoro, Hand aut agraria I, Yogyakarta, 2012

Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Jakarta: kompas, 2007

 Myrna A. Safitri, Tristam Moeliono, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia, Jakarta: HUMA, 2010

R. Subekti, R. Tjitrosudibio, KUHP dengan tambahan UUPA Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: PT. MALTA PRINTINDO, 2008

Purndi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hokum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985




[1] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981) hlm. 1
[2] Myrna A. Safitri, Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat Di Indonesia, (Jakarta: HUMA, 2010) hlm.192-193
[3] IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual”, Land Reform, (semarang: IAIN Wali Songo, 2007), Edisi 25, hlm. 28
[4] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1986) hlm 318
[5] Ibid. hlm. 321.
[6] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, KUHP dengan tambahan UUPA Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: PT. MALTA PRINTINDO, 2008) hlm. 516.
[7] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1986) hlm. 322-323.
[8] Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta: kompas, 2007) hlm. 54 55
[9] Iswantoro, hand aut agraria I, (Yogyakarta, 2012) hlm. 12
[11] Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta: kompas, 2007) hlm. 58
[13] Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hokum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) hlm. 24-25
[14] Iswantoro, hand aut agraria I, (Yogyakarta, 2012) hlm. 12

2 komentar: