Selasa, 18 Desember 2012

Publik Domein (Hukum Administrasi Negara)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti subyek hukum lainnya baik orang-orang maupun badan hukum privat, Pemerintah sebagai badan hukum publik memerlukan hak milik dan hak-hak lainnya untuk mencapai tujuannya. Publik Domain ialah salah satu bentuk dari Instrument Pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat yang salah satunya melalui pelayanan publik dengan menyediakan perangkat fasilitas yang diperuntukkan terhadap publik.

Dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan kesejahteraan umum, negara memerlukan fasilitas, misalnya gedung-gedung pemerintah,  jalan umum, mobil dinas, sungai-sungai dan lain sebagainya. Benda-benda yang dimiliki pemerintahan tersebut disebut publik domain atau staats domain (kepunyaan public atau kepunyaan Negara).

Jadi, publik domain dalam bentuk fasilitas sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat sebagai Instrumen untuk kelancaran dalam segala aktivitas dan roda kehidupan untuk menciptakan kenyamanan dalam masyarakat, karna itu pemerintah selaku pemilik publik domain merupakan hasil konsensus rakyat, dengan itu maka kewajiban pemerintah untuk memberikan fasilitas yang baik demi tercapainya kenyamanan dan kesejahteraan rakyatnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diambil sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Kedudukan publik domein dalam HAN
2.  Kedudukan Negara Atas Publik Domein
3.  Pertanggungjawaban Negara atas Publik Domain
4.  Status Perubahan Publik Domain

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Publik Domain

Kedudukan negara mengayomi warganya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam rangka itu ia memerlukan fasilitas-fasilitas agar memudahkan pelaksanaan tugas dan fungsi itu sehingga target dan tujuan bisa tercapai.
Fasilitas-fasilitas yang dimaksud adalah barang-barang atau benda-benda yang diadakan dan keberadaannya tentu dipunyai oleh negara. Benda itulah kemudian dikatakan sebagai Publik Domein. 
Jadi, Publik Domain ialah suatu benda pendukung yang dimiliki oleh Negara akan tetapi tidak dapat diperjual belikan karena sifatnya diluar perniagaan seperti jalan, sungai, gedung, dll. Kemudian pemerintah sendiri lebih kepada memilikinya sebagai pengawas.

B. Kedudukan Publik Domain dalam Hukum Administrasi Negara
Pada abad XIX, di kalangan ilmuwan banyak sekali berbeda pendapat terkait dengan benda-benda yang berstatus publik domain yang memiliki kedudukan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menurut Utrecth disebabkan karna perselisihan  seputar apakah benda itu dinikmati fungsi publik atau bukan, dan yang membedakan itu adalah sarjana dari Perancis bernama Proudhon.
Menurut Proudhon seorang ahli hukum dari Perancis yang menguraikan teori kedudukan hukum hak kepunyaan public dan hukum hak kepunyaan privat, ia menjelaskan bahwa kepunyaan publik negara adalah benda yang disediakan oleh pemerintah yang dipergunakan untuk pelayanan publik dan penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara. Kekayaan atau hak kepunyaan publik diatur kepunyaannya dalam perdata. Dalam konsep penguasaan negara ialah hak kepunyaan publik negara dikuasai (beheren) oleh negara dan dilakukan pengawasan (toezichtouden) oleh instrumen negara.[1]
Benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi obyek perjanjian perdata, karna sifat hukum (rechstkarakter) kepunyaan publik negara ditunjukan pada benda atau kekayaan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Hak kepunyaan perdata biasa tunduk pada peraturan perdata tidak dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan atau dikuasai negara (staatseigenaar). Jadi, jika benda-benda publik itu dinikmati secara pribadi oleh pejabat karena dimaksudkan penunjang aktivitasnya maka dapat dikatakan sebagai Kepunyaan Privat.  Namun demikian, karena pejabat menggunakan benda itu tidak didasarkan pada hukum privat maka statusnya bukan hak milik akan tetapi hak menguasai dan mengawasi. Namun jika benda-benda itu diperuntukan bagi rakyat maka dapat dikatakan sebagai Kepunyaan Publik.
Namun pendapat Proudhon tersebut disangkal oleh para ilmuwan lain seperti Prof. Vegting dan Marcel Waline, menurut mereka bahwa pendapat Proudhon itu telah menyimpang dari pendapat umum yang ada dan mengandung kelemahan teoritis,  karena publik domain berlaku hukum istimewa  (privilege) dimana posisi negara tetap sebagai pemilik (eigenaar), hanya saja kedudukannya sangat terbatas tidak seperti dalam lapangan keperdataan. Menurut Barckhausen, status publik domain tidak dimaksudkan menentang hukum perdata melainkan hanya menuntut pengkhususan pengaturan sehingga dapat atau tidaknya diasingkan benda-benda publik itu.
Tetapi, ahli hukum Thorbecke sependapat dengan Proudhon, bahwa benda-benda yang bukan perniagaan tidak dapat menjadi pokok bezit, sehingga benda-benda tersebut tidak dapat menjadi hak eigendom (milik). Benda-benda yang tidak dapat dijadikan hak eigendom tentu saja bukanlah milik seorang eigenaar (pemilik), kemudian ia mendefinisikan bahwa benda-benda yang termasuk kepunyaan publik ialah benda diluar peniagaan dengan mendasarkan pada pasal 1332 KUH perdata yang bunyinya : “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok persetujuan” dan pasal 1953 KUH perdata yang bunyinya: “Seseorang tidak dapat menggunakan lewat waktu untuk memperoleh hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam perdagangan”. Jadi, benda diluar peniagaan tidak dapat menjadi pokok bezit, maka dengan sendirinya negara tidak dapat menjadi eigenaar atas benda-benda kepunyaan publik.[2] Berbeda dengan Thorbecke, menurut Mr. Von Reeken benda-benda yang diselenggarakan untuk kepentingan umum bukanlah benda di luar perniagaan, sebab benda-benda di luar perniagaan adalah benda-benda yang dikeluarkan dari pergaulan hukum biasa (maka domaine public bukanlah benda di luar perniagaan dalam keseluruhannya). Negara adalah eigenaar (pemilik) menurut hukum privat biasa dari publik domain sehingga hukum privat berlaku juga bagi benda-benda tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan publiknya, maka benda dari perniagaan yang ditujukkan untuk kepentingan umum dapat disebut dengan domain publik.
Pendapat modern dan yurisprudesi beranggapan bahwa negara adalah eigenaar atas domain public. Dalam ranah ilmu hukum dan yurisprudensi di Belanda berpandangan bahwa negara adalah eigenaar perdata biasa sebagai pemilik dari domain public, sehingga termasuk juga pada benda-benda yang diselenggarakan untuk kepentingan umum. Pada pasal 519, 520, 521, dan 523 KUH perdata menunjukkan benda-benda yang dapat menjadi milik negara. Jadi pada pasal tersebut menunjukkan alasan yuridis yang menguatkan pandangan bahwa negara adalah eigenaar atas domain publik. Namun, di Indonesia negara tidak dapat dikatakan sebagai eigenaar, pada pasal 33 UUD 1945 dan dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA pada buku II BW maka ketentuan mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan sepanjang terkait dengan hipotik dicabut.UUPA juga mencabut  Agrarische Wet 1870 (yang mengatur bahwa tanah-tanah yang tak dapat dibuktikan sebagai eigendom (domain verkelaring) menjadi milik negara, jadi Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai eigenaar atas domain publik melainkan sebagai Instrument terhadap fasilitas yang diperuntukkan terhadap masyarakat.

C. Kedudukan Negara Atas Publik Domein
Pendapat modern dan yurisprudesi beranggapan bahwa Negara adalah eigenaar atas domain public. Ilmu hukum dan yurisprudensi belanda berpandangan bahwa Negara adalah eigenaar perdata biasa domain public, bahwa termasuk juga untuk benda-benda yang diselenggarakan untuk kepentingan umum. Pasal 519,520,521,dan 523 KUH perdata menunjukkan benda-benda yang dapat menjadi milik nagara. Pasal tersebut menunjukkan alasan yuridis yang menguatkan pandangan bahwa Negara adalah eigenaar atas domain public. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut hukum positif Indonesia, pemerintah atau negara tidak bisa disebut pemilik (eigenaar) atas benda-benda obyek Agraria. Pada waktu berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara tahun 1960 No.104), yang dimaksud dengan “Milik Negara”, ialah “Kepunyaan Negara” (ditempatkan dibawah hukum yang tercantum dalam KUHPerdata-Buku II). Dengan adanya ketentuan yang ditegaskan dalam awal diktum UUPA itu, maka di Indonesia tidak dikenal adanya pemilikan oleh negara terhadap publik domein agraris, tetapi hukum di Indonesia hanya mengenai “Hak Menguasai”. Jadi, dalam UUPA, negara Indonesia dalam bidang keagrariaan tidak mengenal Domein Verklaring (tanah tak bertuan menjadi milik negara), yang dikenal hanyalah hak menguasai oleh negara. Dasar tentang hak menguasai oleh negara ini secara mendasar ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”[3]
Selanjutnya Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa: “ Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya pada tingkatan tinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa yang dimaksud hak menguasai oleh negara adalah kewenangan untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air serta ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dengan bumi, air, serta ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, serta ruang angkasa.

Wewenang yang bersumber pada hak yang menguasai negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan, makmur. Hak menguasai dari negara tersebut, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah dan UUD 1945.

Di Indonesia, tata Inventarisasi ternyata tidak mengikuti penggolongan barang yang dibagi berdasrkan barang pribadi dan barang pribadi milik Pemerintah atau Negara (Privat Domein), tetapi berdasarkan pada Instruksi Presiden No.3 Tahun 1971 tentang Inventarisasi barang-barang milik negara atau kekayaan negara mensyaratkan penyusunan daftar Inventarisasi atas semua barang-barang milik negara atau kekayaan negara yang terdapat dalam lingkungan tiap instansi, baik yang ada di dalam maupun yang ada di luar negeri, yang berasal atau di beli dengan dana yang bersumber dari Anggaran Belanja Negara ataupun dengan dana diluar Anggaran Belanja Negara. Surat Keputusan  Menteri Keuangan, No.Kep-225/MK/V/4/1971 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Inventarisasi Barang-Barang Milik Negara/kekayaan negara bertanggal 13 April 1971, memformulasikan bahwa : barang-barang milik negara/kekayaan negara dapat meliputi : Semua barang-barang milik negara/kekayaan negara yang berasal/di beli dengan dana yang bersumber dari Anggaran Belanja Negara yang berada dibawah pengurusan departemen, lembaga negara, lembaga pemerintah non departemen serta unit-unit dalam lingkungan yang terdapat baik di dalam negeri maupun di luar negeri, tidak termasuk kekayaan negara yang telah di pisahkan antara lain kekayaan perum dan persero dan barang-barang kepunyaan daerah otonom.

Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan, No: Kep-225/MK/V/4/1971, tanggal 13 April 1971, yang dimaksud dengan barang-barang milik negara/kekayaan negara yaitu :
1. Barang-barang Tidak Bergerak antara lain:
a.  Tanah-tanah kehutanan, pertanian, perkebunan, lapangan olah raga dan tanah-tanah yang belum dipergunakan.
b.  Gedung-gedung yang dipergunakan untuk kantor, pabrik-pabrik, sekolah, rumah sakit, laboratorium, dan lain-lain.
c.  Gedung-gedung tempat tinggal tetap atau sementara.
d. Monumen-monumen.
2. Barang-barang Bergerak antara lain:
a.  Alat-alat besar, seperti: buldozer, traktor, mesin pengebor tanah, dan lain-lain.
b.  Peralatan-peralatan yang di dalam pabrik, bengkel, studio, laboratorium, stasiun pembangkit tenaga listrik dan sebagainya.
c.  Peralatan Kantor seperti: mesin tik, mesin stensil, computer dan lain-lain.
d. Semua Inventaris perpustakaan dan lain-lain Inventaris barang-barang bercorak kebudayaan.
e.  Alat-alat pengangkutan, Seperti : kapal terbang, kapal laut, bus, truk, mobil dan lain sebagainya.
f.   Inventaris perlengkapan rumah sakit, asrama, rumah yatim piatu, rumah penjara, dan sebagainya.
3. Hewan-hewan, seperti : Sapi, kerbau, kuda, dan sebagainya.
4. Barang-barang persediaan, yakni barang-barang yang disimpan dalam gudang atau ditempat penyimpanan lainnya.      

Seperti halnya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerahpun memiliki barang dan kekayaan (asset), hal itu terdapat dalam ketentuan pasal 1 dari Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-225/MK/V/4/1971 tanggal 13 April 1971.

D. Pertanggungjawaban Negara atas Publik Domain

1. Arti Pertanggung jawaban
Pertanggung jawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu. Dalam kamus hukum ada tiga istilah menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni liability, responsibility dan acuntability. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang di dalamnya mengandung makna bahwa menunjuk pada makna komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Sementara itu responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi gantu rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. Dalam ensiklopedi administrasi, responsibility adalah keharusan seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya. Sedangkan acuntability ialah sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu seseorang yang mendapatkan amanat harus mempertanggungjawabkannya kepada orang-orang yang memberinya kepercayaan.[4]
2. Arti Public Domein
Public domain atau staat domain ialah suatu benda pendukung yang dimiliki oleh Negara akan tetapi tidak dapat diperjual belikan karena sifatnya diluar perniagaan dan pemerintah sendiri lebih kepada memilikinya sebagai pengawas.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan Negara memiliki atau menguasai public domain dan ada pula yang menyatakan Negara hanya sebagai pengawas dari public domain tersebut.
a. Proudhon, pemerintah bukanlah pemilik (eigenaar), melainkan hanya sebagai pihak yang menguasai (beheren) dan melakukan pengawasan terhadap benda-benda kepunyaan publik.
b. Prof. Vegting mengatakan bahwa public domein ialah benda di luar perniagaan, namun berdasarkan penelitian historik tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa publik domein tersebut bukan menjadi eigendom negara. Pemberian pengertian benda diluar perniagaan hanyalah untuk menyatakan batal terhadap setiap perjanjian jual beli atas benda tersebut.
c. Mr. Von Reeken, Domain publik bukanlah benda diluar perniagaan, karena benda diluar perniagaan adalah benda yang dikeluarkan dari pergaulan hukum biasa. Negara adalah eigenaar menurut hukum privat biasa dari public domein sehingga hukum privat tetap berlaku kepada benda-benda tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan publiknya. Bilamana benda-benda tersebut digunakan untuk kepentingan umum maka sebagian dari benda-benda itu menjadi benda “diluar perniagaan” sehingga seluruhnya dikeluarkan dari lapangan hukum privat biasa.
Jadi, kesimpulannya ialah bahwa Negara adalah eigenaar dan domein public ialah eigendom dari negara, seperti halnya yang telah diikuti oleh hukum dan yurisprudensi Negara Belanda. Memang pada umumnya ilmu hukum dan yurisprudensi Negara Belanda menganggap bahwa negara adalah eigenaar perdata biasa terhadap public domein itu, bahkan terhadap benda-benda yang ditujukan untuk kepentingan umum. Ini artinya bahwa pendapat Von Reeken diterima bahwa negara adalah eigenaar, akan tetapi pendapatnya yang mengatakan jika benda-benda yang ditujukan untuk kepentingan umum dikeluarakan dari benda-benda perniagaan tidak diterima. Sebab menurut ilmu hukum dan yurisprudensi itu benda-benda yang ditujukan untuk kepentingan umum masih menjadi milik negara, sehingga negara masih tetap menjadi eigenaar. Dengan demikian, maka pendapat modern mengatakan bahwa negara merupakan eigenaar dari domein public. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 519, 520, 521 dan 523 KUHP yang menunjuk benda-benda mana yang menjadi eigendom dari negara.
Tokoh Proudhon dari Prancis membagi public domain atau staats domain menjadi dua, yaitu :
a. Kepunyaan privat (private domain)
Dalam hal ini Kepunyaan privat meliputi benda-benda yang dipakai oleh aparat pemerintah secara langsung, dimana kemanfaatan benda-benda tersebut jarang diperuntukkan untuk umum. Contohnya rumah dinas, gedung BUMN, kendaraan dinas, alat-alat elektronik dinas seperti komputer dan lain-lain.
b. Kepunyaan publik (public domain)
Kepunyaan public meliputi benda-benda yang disediakan pemerintah untuk masyarakat secara umum, dimana kemanfaatan benda-benda tersebut lebih diperuntukkan untuk masyarakat secara umum. Contohnya jalan-jalan umum, sungai-sungai, termasuk juga kantor pemerintah dan lain sebagainya. Pembagian tersebut merupakan pengolongan perbedaan domain yang dipakai sepenuhnya oleh pemerintah dan mana yang diperuntukan untuk kepentingan umum. Disini sangat terlihat perbedaan hak–hak istimewa yang diperoleh pemerintah berbanding terbalik oleh apa yang dapat dinikmati oleh umum sehingga terkesan perbedaan itu menonjol di hak-hak pemerintah dan masyarakat pada umumnya.[5]

E. Status Perubahan Publik Domain
Kewenangan tata usaha negara untuk mencabut hak milik seorang warga atau menuntut pemakaian atas milik nya (seluruhnya atau sebagiannya atau untuk waktu tertentu) hanya dapat didasarkan pada suatu ketentuan perundang-undangan yang tegas. Berkenaan dengan pencabutan hak milik (ointegening), di Belanda, pada pasal 14 ayat 1 dan 2 dari Nederlandse Grondwet 1983 ditetapkan:
1. pencabutan hak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum dan dengan ganti-rugi yang dijamin sebelumnya, satu dan lain berdasarkan undang-undang yang berlaku.
2. Ganti rugi tidak perlu dijamin terlebih dahulu, jika dalam keadaan darurat diperlukan pencabutan hak.
Dalam hal terjadi pencabutan hak atas tanah, ganti rugi diharuskan penuh, pada pasal 40 Onteigeningswet menetapkan: “pemberian ganti rugi merupakan penggantian yang penuh bagi semua kerugian yang secara langsung dan tak terhindarkan diderita oleh yang dicabut haknya, karena kehilangan barangnya”. Onteigeningswet didasarkan pada pendapat bahwa tata usaha negara yang secara bertentangan dengan kehendak pemilik telah mencabut milik orang itu harus bersedia memberikan ganti rugi kepada pemilik sedemikian rupa, sehingga ditinjau dari sudut finansial, pemilik tidak menderita kerugian.[6]
Di Indonesia, tanah merupakan salah satu fasilitas dari negara untuk kepentingan umum, tanah yang merupakan hak privat seseorang dapat berganti status menjadi hak milik publik yang diwakili oleh negara. Perubahan status tersebut didasarkan kepada kebutuhan publik dalam bidang tata ruang kota atau dalam kepentingan-kepentingan negara untuk publik, misalnya: dengan membangun taman kota, lahan hijau, atau untuk pelestarian pohon, yang harus di dasarkan pada ketentuan per Undang-Undang yang berlaku yakni UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dengan mencakup asas-asas sebagai berikut: kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.  Perubahan status hak privat menjadi hak milik publik harus didasarkan dengan tujuan yang jelas sesuai pasal 3 UU No. 2 tahun 2012 yakni pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak dengan cara memberikan ganti rugi yang layak dan adil yang dijamin dalam pasal 9 UU No. 12 tahun 2012.[7] Jadi, perubahan status hak milik private menjadi hak milik publik (publik domain) dapat dilakukan dengan mendasarkan pada syarat-syarat dalam ketentuan per Undang-Undangan yang berlaku. 


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Public domain atau staat domain merupakan suatu benda pendukung yang dimiliki oleh Negara akan tetapi tidak dapat diperjual belikan karena sifatnya diluar perniagaan dan pemerintah sendiri lebih kepada memilikinya sebagai pengawas. Publik Domain (kepunyaan publik) bisa diartikan sebagai fasilitas sebagai penunjang kesejahteraan rakyat dari negara karna publik domain sebagai instrument dari pemerintah untuk memberikan kemudahan, kenyamanan, dan kemakmuran rakyat.
Dalam mencapai terwujudnya kemudahan, kenyamanan, dan kemakmuran rakyat, perlu adanya perubahan status privat domain menjadi publik domain oleh negara untuk kepentingan umum seperti jalan, taman kota, lahan hijau, dll, dengan mengacu pada ketentuan Undang-undang yang berlaku maka perubahan status tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan bersama sebagai bentuk peran pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.       



DAFTAR PUSTAKA

M.Hadjon, Philipus dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),1997.
Marbun, ST., Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberti), 1987.
Widodo, Joko, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Insan Cendekia, Surabaya, 2001.
www.djohansjahmarzoeki-rationalthinking.com
UU No. 2 Tahun 2012





[1] Philipus M.Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),1997  hal 180.
[2] ST. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberti), 1987, hal. 135-136.
[3] Philipus M.Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),1997  hal 185.
[4] Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hal 25.
[5] ST. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberti), 1987, hal. 140-145.
[6]  Philipus M.Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),1997  hal 188-190.
[7] UU No. 2 Tahun 2012

3 komentar: