BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seperti subyek hukum lainnya baik orang-orang maupun
badan hukum privat, Pemerintah sebagai badan hukum publik memerlukan hak milik
dan hak-hak lainnya untuk mencapai tujuannya. Publik Domain ialah salah satu bentuk dari
Instrument Pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut yaitu terwujudnya
kesejahteraan rakyat yang salah satunya melalui pelayanan publik dengan
menyediakan perangkat fasilitas yang diperuntukkan terhadap publik.
Dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan kesejahteraan
umum, negara memerlukan fasilitas, misalnya gedung-gedung pemerintah, jalan umum, mobil dinas, sungai-sungai dan
lain sebagainya. Benda-benda yang dimiliki pemerintahan tersebut disebut publik
domain atau staats domain (kepunyaan public atau kepunyaan Negara).
Jadi, publik domain dalam bentuk fasilitas sangatlah
dibutuhkan oleh masyarakat sebagai Instrumen untuk kelancaran dalam segala
aktivitas dan roda kehidupan untuk menciptakan kenyamanan dalam masyarakat,
karna itu pemerintah selaku pemilik publik domain merupakan hasil konsensus
rakyat, dengan itu maka kewajiban pemerintah untuk memberikan fasilitas yang
baik demi tercapainya kenyamanan dan kesejahteraan rakyatnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
dapat diambil sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Kedudukan
publik domein dalam HAN
2. Kedudukan
Negara Atas Publik Domein
3. Pertanggungjawaban Negara atas Publik Domain
4. Status
Perubahan Publik Domain
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Publik Domain
Kedudukan negara mengayomi warganya dalam
rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam rangka itu ia memerlukan
fasilitas-fasilitas agar memudahkan pelaksanaan tugas dan fungsi itu sehingga
target dan tujuan bisa tercapai.
Fasilitas-fasilitas yang
dimaksud adalah barang-barang atau benda-benda yang diadakan dan keberadaannya tentu dipunyai oleh negara. Benda
itulah kemudian dikatakan sebagai Publik Domein.
Jadi, Publik Domain ialah suatu benda pendukung
yang dimiliki oleh Negara akan tetapi tidak dapat diperjual belikan karena
sifatnya diluar perniagaan seperti jalan, sungai, gedung, dll. Kemudian pemerintah
sendiri lebih kepada memilikinya sebagai pengawas.
B. Kedudukan
Publik Domain dalam Hukum Administrasi Negara
Pada abad XIX, di kalangan ilmuwan
banyak sekali berbeda pendapat terkait dengan benda-benda yang berstatus publik
domain yang memiliki kedudukan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menurut Utrecth
disebabkan karna perselisihan seputar
apakah benda itu dinikmati fungsi publik atau bukan, dan yang membedakan itu
adalah sarjana dari Perancis bernama Proudhon.
Menurut Proudhon seorang ahli hukum dari
Perancis yang menguraikan teori
kedudukan hukum hak kepunyaan public dan hukum hak kepunyaan privat, ia
menjelaskan bahwa kepunyaan publik negara adalah benda yang
disediakan oleh pemerintah yang dipergunakan untuk pelayanan publik dan penyelenggaraan
fungsi pemerintahan negara. Kekayaan atau hak kepunyaan publik diatur kepunyaannya
dalam perdata. Dalam konsep penguasaan negara ialah hak kepunyaan publik negara
dikuasai (beheren) oleh negara dan dilakukan pengawasan (toezichtouden)
oleh instrumen negara.[1]
Benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi
obyek perjanjian perdata, karna sifat hukum (rechstkarakter) kepunyaan
publik negara ditunjukan pada benda atau kekayaan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Hak kepunyaan perdata biasa
tunduk pada peraturan perdata tidak dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan
atau dikuasai negara (staatseigenaar). Jadi, jika benda-benda publik itu dinikmati secara
pribadi oleh pejabat karena dimaksudkan penunjang aktivitasnya maka dapat dikatakan
sebagai Kepunyaan Privat. Namun demikian,
karena pejabat menggunakan benda itu tidak didasarkan pada hukum privat maka
statusnya bukan hak milik akan tetapi hak menguasai dan mengawasi. Namun jika
benda-benda itu diperuntukan bagi rakyat maka dapat dikatakan sebagai Kepunyaan
Publik.
Namun pendapat Proudhon tersebut
disangkal oleh para ilmuwan lain seperti Prof. Vegting dan Marcel
Waline, menurut mereka bahwa pendapat Proudhon itu telah menyimpang
dari pendapat umum yang ada dan mengandung kelemahan teoritis, karena publik domain berlaku hukum
istimewa (privilege) dimana
posisi negara tetap sebagai pemilik (eigenaar), hanya saja kedudukannya
sangat terbatas tidak seperti dalam lapangan keperdataan. Menurut Barckhausen,
status publik domain tidak dimaksudkan menentang hukum perdata melainkan hanya
menuntut pengkhususan pengaturan sehingga dapat atau tidaknya diasingkan
benda-benda publik itu.
Tetapi, ahli hukum Thorbecke sependapat
dengan Proudhon, bahwa benda-benda yang bukan perniagaan tidak dapat
menjadi pokok bezit, sehingga benda-benda tersebut tidak dapat menjadi hak
eigendom (milik). Benda-benda yang tidak dapat dijadikan hak eigendom
tentu saja bukanlah milik seorang eigenaar (pemilik), kemudian ia mendefinisikan bahwa benda-benda
yang termasuk kepunyaan publik ialah benda diluar peniagaan dengan mendasarkan
pada pasal 1332 KUH perdata yang bunyinya : “Hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang menjadi pokok persetujuan” dan pasal 1953 KUH perdata
yang bunyinya: “Seseorang tidak dapat menggunakan lewat waktu untuk memperoleh
hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam perdagangan”. Jadi, benda
diluar peniagaan tidak dapat menjadi pokok bezit, maka dengan sendirinya negara
tidak dapat menjadi eigenaar atas benda-benda kepunyaan publik.[2]
Berbeda dengan Thorbecke, menurut Mr. Von Reeken benda-benda
yang diselenggarakan untuk kepentingan umum bukanlah benda di luar perniagaan,
sebab benda-benda di luar perniagaan adalah benda-benda yang dikeluarkan dari
pergaulan hukum biasa (maka domaine public bukanlah benda di luar perniagaan
dalam keseluruhannya). Negara adalah eigenaar (pemilik) menurut hukum
privat biasa dari publik domain sehingga hukum privat berlaku juga bagi
benda-benda tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan publiknya,
maka benda dari perniagaan yang ditujukkan untuk kepentingan umum dapat disebut
dengan domain publik.
Pendapat modern dan yurisprudesi beranggapan
bahwa negara adalah eigenaar atas domain public. Dalam ranah ilmu hukum dan
yurisprudensi di Belanda berpandangan bahwa negara adalah eigenaar perdata
biasa sebagai pemilik dari domain public, sehingga termasuk juga pada
benda-benda yang diselenggarakan untuk kepentingan umum. Pada pasal 519, 520, 521,
dan 523 KUH perdata menunjukkan benda-benda yang dapat menjadi milik negara.
Jadi pada pasal tersebut menunjukkan alasan yuridis yang menguatkan pandangan
bahwa negara adalah eigenaar atas domain publik. Namun, di Indonesia negara
tidak dapat dikatakan sebagai eigenaar, pada pasal 33 UUD 1945 dan dengan
berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA pada buku II BW maka ketentuan
mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara, dan sepanjang terkait dengan hipotik dicabut.UUPA juga mencabut Agrarische Wet 1870 (yang mengatur bahwa
tanah-tanah yang tak dapat dibuktikan sebagai eigendom (domain verkelaring)
menjadi milik negara, jadi Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai eigenaar
atas domain publik melainkan sebagai Instrument terhadap fasilitas yang
diperuntukkan terhadap masyarakat.
C. Kedudukan
Negara Atas Publik Domein
Pendapat modern dan
yurisprudesi beranggapan bahwa Negara adalah eigenaar atas domain public. Ilmu
hukum dan yurisprudensi belanda berpandangan bahwa Negara adalah eigenaar
perdata biasa domain public, bahwa termasuk juga untuk benda-benda yang
diselenggarakan untuk kepentingan umum. Pasal 519,520,521,dan 523 KUH perdata
menunjukkan benda-benda yang dapat menjadi milik nagara. Pasal tersebut
menunjukkan alasan yuridis yang menguatkan pandangan bahwa Negara adalah
eigenaar atas domain public. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut hukum positif Indonesia,
pemerintah atau negara tidak bisa disebut pemilik (eigenaar) atas
benda-benda obyek Agraria. Pada waktu berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara tahun 1960 No.104), yang dimaksud
dengan “Milik Negara”, ialah “Kepunyaan Negara” (ditempatkan dibawah hukum yang
tercantum dalam KUHPerdata-Buku II). Dengan adanya ketentuan yang ditegaskan
dalam awal diktum UUPA itu, maka di Indonesia tidak dikenal adanya pemilikan
oleh negara terhadap publik domein agraris, tetapi hukum di Indonesia hanya
mengenai “Hak Menguasai”. Jadi, dalam UUPA, negara Indonesia dalam bidang
keagrariaan tidak mengenal Domein Verklaring (tanah tak bertuan menjadi milik
negara), yang dikenal hanyalah hak menguasai oleh negara. Dasar tentang hak
menguasai oleh negara ini secara mendasar ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang berbunyi: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”[3]
Selanjutnya Pasal 2
UUPA menyatakan bahwa: “ Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang
terkandung didalamnya pada tingkatan tinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakan
bahwa yang dimaksud hak menguasai oleh negara adalah kewenangan untuk :
1. Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air serta ruang
angkasa.
2. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara manusia dengan bumi, air, serta ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara manusia dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air, serta ruang angkasa.
Wewenang yang bersumber pada hak yang
menguasai negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan, makmur. Hak
menguasai dari negara tersebut, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah dan UUD
1945.
Di Indonesia, tata Inventarisasi ternyata
tidak mengikuti penggolongan barang yang dibagi berdasrkan barang pribadi dan
barang pribadi milik Pemerintah atau Negara (Privat Domein), tetapi
berdasarkan pada Instruksi Presiden No.3 Tahun 1971 tentang Inventarisasi
barang-barang milik negara atau kekayaan negara mensyaratkan penyusunan daftar
Inventarisasi atas semua barang-barang milik negara atau kekayaan negara yang
terdapat dalam lingkungan tiap instansi, baik yang ada di dalam maupun yang ada
di luar negeri, yang berasal atau di beli dengan dana yang bersumber dari
Anggaran Belanja Negara ataupun dengan dana diluar Anggaran Belanja Negara.
Surat Keputusan Menteri Keuangan,
No.Kep-225/MK/V/4/1971 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Inventarisasi
Barang-Barang Milik Negara/kekayaan negara bertanggal 13 April 1971,
memformulasikan bahwa : barang-barang milik negara/kekayaan negara dapat
meliputi : Semua barang-barang milik negara/kekayaan negara yang berasal/di
beli dengan dana yang bersumber dari Anggaran Belanja Negara yang berada
dibawah pengurusan departemen, lembaga negara, lembaga pemerintah non
departemen serta unit-unit dalam lingkungan yang terdapat baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, tidak termasuk kekayaan negara yang telah di pisahkan
antara lain kekayaan perum dan persero dan barang-barang kepunyaan daerah
otonom.
Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan, No:
Kep-225/MK/V/4/1971, tanggal 13 April 1971, yang dimaksud dengan barang-barang
milik negara/kekayaan negara yaitu :
1. Barang-barang Tidak
Bergerak antara lain:
a. Tanah-tanah kehutanan, pertanian,
perkebunan, lapangan olah raga dan tanah-tanah yang belum dipergunakan.
b. Gedung-gedung yang
dipergunakan untuk kantor, pabrik-pabrik, sekolah, rumah sakit, laboratorium,
dan lain-lain.
c. Gedung-gedung tempat
tinggal tetap atau sementara.
d. Monumen-monumen.
2. Barang-barang Bergerak
antara lain:
a. Alat-alat besar,
seperti: buldozer, traktor, mesin pengebor tanah, dan lain-lain.
b. Peralatan-peralatan
yang di dalam pabrik, bengkel, studio, laboratorium, stasiun pembangkit tenaga
listrik dan sebagainya.
c. Peralatan Kantor
seperti: mesin tik, mesin stensil, computer dan lain-lain.
d. Semua Inventaris
perpustakaan dan lain-lain Inventaris barang-barang bercorak kebudayaan.
e. Alat-alat pengangkutan,
Seperti : kapal terbang, kapal laut, bus, truk, mobil dan lain sebagainya.
f.
Inventaris perlengkapan rumah sakit, asrama, rumah
yatim piatu, rumah penjara, dan sebagainya.
3. Hewan-hewan, seperti :
Sapi, kerbau, kuda, dan sebagainya.
4. Barang-barang
persediaan, yakni barang-barang yang disimpan dalam gudang atau ditempat penyimpanan
lainnya.
Seperti halnya Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerahpun memiliki barang dan kekayaan (asset), hal itu terdapat dalam
ketentuan pasal 1 dari Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-225/MK/V/4/1971
tanggal 13 April 1971.
D. Pertanggungjawaban Negara
atas Publik Domain
1. Arti Pertanggung jawaban
Pertanggung jawaban berasal
dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu.
Dalam kamus hukum ada tiga istilah menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni
liability, responsibility dan acuntability. Liability merupakan istilah hukum
yang luas yang di dalamnya mengandung makna bahwa menunjuk pada makna
komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk
menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Sementara itu responsibility berarti
hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk
putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti
kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi gantu rugi atas kerusakan apa pun yang
telah ditimbulkannya. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah
liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk
pada pertanggungjawaban politik. Dalam ensiklopedi administrasi, responsibility
adalah keharusan seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah
diwajibkan kepadanya. Sedangkan acuntability ialah sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu seseorang yang mendapatkan
amanat harus mempertanggungjawabkannya kepada orang-orang yang memberinya
kepercayaan.[4]
2. Arti
Public Domein
Public domain atau staat domain ialah suatu
benda pendukung yang dimiliki oleh Negara akan tetapi tidak dapat diperjual
belikan karena sifatnya diluar perniagaan dan pemerintah sendiri lebih kepada
memilikinya sebagai pengawas.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan Negara memiliki
atau menguasai public domain dan ada pula yang menyatakan Negara hanya sebagai
pengawas dari public domain tersebut.
a. Proudhon, pemerintah bukanlah pemilik
(eigenaar), melainkan hanya sebagai pihak yang menguasai (beheren)
dan melakukan pengawasan terhadap benda-benda kepunyaan publik.
b. Prof. Vegting mengatakan bahwa public
domein ialah benda di luar perniagaan, namun berdasarkan penelitian historik
tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa publik domein tersebut bukan menjadi
eigendom negara. Pemberian pengertian benda diluar perniagaan hanyalah untuk menyatakan
batal terhadap setiap perjanjian jual beli atas benda tersebut.
c. Mr. Von Reeken, Domain publik
bukanlah benda diluar perniagaan, karena benda diluar perniagaan adalah benda
yang dikeluarkan dari pergaulan hukum biasa. Negara adalah eigenaar menurut
hukum privat biasa dari public domein sehingga hukum privat tetap berlaku
kepada benda-benda tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
publiknya. Bilamana benda-benda tersebut digunakan untuk kepentingan umum maka
sebagian dari benda-benda itu menjadi benda “diluar perniagaan” sehingga
seluruhnya dikeluarkan dari lapangan hukum privat biasa.
Jadi,
kesimpulannya ialah bahwa Negara adalah eigenaar dan domein public ialah
eigendom dari negara, seperti halnya yang telah diikuti oleh hukum dan
yurisprudensi Negara Belanda. Memang pada umumnya ilmu hukum dan yurisprudensi
Negara Belanda menganggap bahwa negara adalah eigenaar perdata biasa terhadap
public domein itu, bahkan terhadap benda-benda yang ditujukan untuk kepentingan
umum. Ini artinya bahwa pendapat Von Reeken diterima bahwa negara adalah
eigenaar, akan tetapi pendapatnya yang mengatakan jika benda-benda yang
ditujukan untuk kepentingan umum dikeluarakan dari benda-benda perniagaan tidak
diterima. Sebab menurut ilmu hukum dan yurisprudensi itu benda-benda yang
ditujukan untuk kepentingan umum masih menjadi milik negara, sehingga negara
masih tetap menjadi eigenaar. Dengan demikian, maka pendapat modern mengatakan
bahwa negara merupakan eigenaar dari domein public. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pasal 519, 520, 521 dan 523 KUHP yang menunjuk benda-benda
mana yang menjadi eigendom dari negara.
Tokoh Proudhon dari Prancis membagi public
domain atau staats domain menjadi dua, yaitu :
a. Kepunyaan privat (private domain)
Dalam hal ini Kepunyaan privat meliputi
benda-benda yang dipakai oleh aparat pemerintah secara langsung, dimana
kemanfaatan benda-benda tersebut jarang diperuntukkan untuk umum. Contohnya
rumah dinas, gedung BUMN, kendaraan dinas, alat-alat elektronik dinas seperti
komputer dan lain-lain.
b. Kepunyaan publik (public domain)
Kepunyaan public meliputi benda-benda yang
disediakan pemerintah untuk masyarakat secara umum, dimana kemanfaatan
benda-benda tersebut lebih diperuntukkan untuk masyarakat secara umum.
Contohnya jalan-jalan umum, sungai-sungai, termasuk juga kantor pemerintah dan
lain sebagainya. Pembagian tersebut merupakan pengolongan perbedaan domain yang
dipakai sepenuhnya oleh pemerintah dan mana yang diperuntukan untuk kepentingan
umum. Disini sangat terlihat perbedaan hak–hak istimewa yang diperoleh
pemerintah berbanding terbalik oleh apa yang dapat dinikmati oleh umum sehingga
terkesan perbedaan itu menonjol di hak-hak pemerintah dan masyarakat pada
umumnya.[5]
E. Status Perubahan Publik
Domain
Kewenangan tata usaha negara untuk mencabut hak
milik seorang warga atau menuntut pemakaian atas milik nya (seluruhnya atau
sebagiannya atau untuk waktu tertentu) hanya dapat didasarkan pada suatu
ketentuan perundang-undangan yang tegas. Berkenaan dengan pencabutan hak milik
(ointegening), di Belanda, pada pasal 14 ayat 1 dan 2 dari Nederlandse
Grondwet 1983 ditetapkan:
1. pencabutan hak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan umum dan dengan ganti-rugi yang dijamin sebelumnya,
satu dan lain berdasarkan undang-undang yang berlaku.
2. Ganti rugi tidak perlu
dijamin terlebih dahulu, jika dalam keadaan darurat diperlukan pencabutan hak.
Dalam hal terjadi pencabutan hak atas tanah,
ganti rugi diharuskan penuh, pada pasal 40 Onteigeningswet menetapkan:
“pemberian ganti rugi merupakan penggantian yang penuh bagi semua kerugian yang
secara langsung dan tak terhindarkan diderita oleh yang dicabut haknya, karena
kehilangan barangnya”. Onteigeningswet didasarkan pada pendapat bahwa tata
usaha negara yang secara bertentangan dengan kehendak pemilik telah mencabut
milik orang itu harus bersedia memberikan ganti rugi kepada pemilik sedemikian
rupa, sehingga ditinjau dari sudut finansial, pemilik tidak menderita kerugian.[6]
Di Indonesia, tanah merupakan
salah satu fasilitas dari negara untuk kepentingan umum, tanah yang merupakan
hak privat seseorang dapat berganti status menjadi hak milik publik yang
diwakili oleh negara. Perubahan status tersebut didasarkan kepada kebutuhan
publik dalam bidang tata ruang kota atau dalam kepentingan-kepentingan negara
untuk publik, misalnya: dengan membangun taman kota, lahan hijau, atau untuk pelestarian
pohon, yang harus di dasarkan pada ketentuan per Undang-Undang yang berlaku
yakni UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dengan mencakup asas-asas sebagai berikut: kemanusiaan,
keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Perubahan status hak privat menjadi hak milik
publik harus didasarkan dengan tujuan yang jelas sesuai pasal 3 UU No. 2 tahun 2012 yakni pengadaan
tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa,
negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang
Berhak dengan cara memberikan ganti rugi yang layak dan adil
yang dijamin dalam pasal 9 UU No. 12 tahun 2012.[7] Jadi,
perubahan status hak milik private menjadi hak milik publik (publik domain)
dapat dilakukan dengan mendasarkan pada syarat-syarat dalam ketentuan per
Undang-Undangan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Public domain atau staat domain merupakan suatu
benda pendukung yang dimiliki oleh Negara akan tetapi tidak dapat diperjual
belikan karena sifatnya diluar perniagaan dan pemerintah sendiri lebih kepada
memilikinya sebagai pengawas. Publik Domain (kepunyaan publik) bisa diartikan
sebagai fasilitas sebagai penunjang kesejahteraan rakyat dari negara karna
publik domain sebagai instrument dari pemerintah untuk memberikan kemudahan,
kenyamanan, dan kemakmuran rakyat.
Dalam mencapai terwujudnya kemudahan,
kenyamanan, dan kemakmuran rakyat, perlu adanya perubahan status privat domain
menjadi publik domain oleh negara untuk kepentingan umum seperti jalan, taman
kota, lahan hijau, dll, dengan mengacu pada ketentuan Undang-undang yang
berlaku maka perubahan status tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan bersama
sebagai bentuk peran pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
M.Hadjon, Philipus dkk. Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),1997.
Marbun,
ST., Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:
Liberti), 1987.
Widodo,
Joko, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Insan Cendekia,
Surabaya, 2001.
www.djohansjahmarzoeki-rationalthinking.com
UU
No. 2 Tahun 2012
[1] Philipus M.Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press),1997 hal 180.
[2] ST. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberti), 1987, hal. 135-136.
[3] Philipus M.Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press),1997 hal 185.
[4]
Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Insan Cendekia,
Surabaya, 2001, hal 25.
[5] ST. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberti), 1987, hal. 140-145.
[6] Philipus
M.Hadjon, dkk. Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),1997 hal 188-190.
susah dibaca karena pemilihan gambar background
BalasHapusmata gua :")
BalasHapusPusing gua liatnya
BalasHapus