BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan amanat
Undang-undang No 5 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria
yang disingkat UUPA, yang menjadi pokok Undang-undang dalam
pembentukan hukum
pertanahan nasional di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa UUPA telah menghapus
keanekaragaman perangkat
hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan yang mana dalam pengaplikasiannya
masih di dasarkan pada hukum adat.
Selain
hukumnya UUPA juga men-unifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah
terutama hak-hak atas tanah yang di dalamnya masih banyak melahirkan
kontroversi maupun hak-hak jaminan atas tanah. Untuk
menghindari hal itu dibutuhkan campur tangan dari penguasa, yang mengatur dan
membatasi adany hak kepemilikan dibidang pertanahan. Dalam lingkungan hukum
adat, campur tangan itu dilakukan oleh Kepala berbagai persekutuan hukum,
seperti Kepala atau Pengurus Desa. Bagi persekutuan-persekutuan hukum yang
da di Indonesia yang bersifat kecil (bersifat territorial) hampir seluruh
masyarakatnya bertitik tumpu pada pertanian, suatu wilayah bukan hanya menjadi
tempat tinggal akan tetapi juga memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan si
pemunya.[1]
Dalam ranah
inilah UUPA berperan, dewasa ini banyak sekali kita jumpai sengketa tanah adat
yang memang sangat pelik untuk diselesaikan, misalnya pada masayarakat
pedalaman Sumatra Barat, pada salah satu pedesaan di daeah
Banten, Kabupaten Paser dan Nunukan di Kalimantan Timur dan masih banyak lagi
konflik tanah adat di Negara Indonesia ini.
Dimana
dengan adanya hal tersebut menimbulkan
dan menunjukan adanya hak ulayat dalam masyarakat adat, yang
keberadaannya dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) masih dipermasalahkan. Begitu
juga statusnya dalam masyarakat adat itu sendiri. Maka
dari itu, untuk lebih jelasnya penulis akan berusaha untuk mengelaborasikan
secara terperinci dan menjawab permasalahan tersebut diatas dalam
bentuk tulisan yang berjudul “Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakan kedudukan hak
ulayat dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) di Indonesia?
2. Apa saja yang termasuk
dalam tanah ulayat tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat
Hak
ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Dengan demikian, yang berhak sebagai pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Bab I
pasal 3 PMA/KBPN No.5 tahun 1999 mendefinisikan masyarakat hukum adat
sebagi berikut: ”Masyarakat
hokum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”
Dalam Bab 2 PMA/KBPN No. 5 tahun 1999 menyebutkan adanya
syarat-syarat untuk menunjang keberadaan hak ulayat secara berkesinambungan:
1. Terdapat sekelompok
orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,
yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari;
2. Terdapat tanah ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga pesekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan,
3. Terdapat tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum
tersebut.
Meskipun demikian, peraturan ini membatasi klaim adat, pasal 3
menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat diklaim apabila tanah itu sudah
dipunyai atau digunakan oleh orang atau pihak lain berdasarkan suatu hak atas
tanah menurut UUPA atau apabila tanah tersebut telah dibebaskan oleh
pemerintah. Berkenaan dengan otoritas dan sifat sementara dari klaim ulayat
pasal 4 menetapkan bahwa wewenang pemuka-pemuka adat maupun oleh instansi
pemerintah, atau badan hukum nasional lainnya. Demikian pula, apabila
masyaarakat hukum adat menginginkan, pemuka adat dapat
mendaftarkan tanah ulayat menurut hak perorangan atas tanah mengacu pada UUPA,
dan sebagai konsekwensinya secara efektif menggantikan hak ulayat mereka dengan
hak atas tanah menurut hukum nasional.[2]
Lahirnya UU No 5 Tahun 1960
(UUPA) menjadi jantung perubahan mendasar bagi rakyat. Kebijakan hukum dalam
UUPA sesungguhnya menentang kapitalisme sekaligus juga menentang liberalisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah, politik
agraria yang terkandung dalam UUPA adalah populisme, artinya dalam UUPA 1960
didalamnya mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki fungsi
sosial. Pemerinah mengatur agar tanah dapat digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat melalui prinsip hak menguasai dari negara.
Nilai-nilai yang terdapat dalam UUPA itu juga diambil dari hukum
adat, yang pada masa kolonial direndahkan posisinya dan dianggap
sebagai hukum kaum tak beradab. Hukum adat
yang digunakan sebagai sumber hukum UUPA
adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan Negara dan
Nasional, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, dan terahir bersumber pada
sumber agama. [3]
B. Peraturan Agraria Di
Indonesia
Hukum agraria adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pengertian
agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, bahkan
dalam batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa. Pada tanggal 24 September
1960 telah disahkan Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok agrarian (L.N. Tahun 1960 No. 104) yang dikenal sebagai
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan kata lain adanya UUPA ini telah
menghapus dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum
agraria kolonial, dan berakhirnya
dualisme dalam hukum agraria dan terselenggaranya unifikasi hukum.
Hukum agraria Indonesia Tahun 1960 ini didasarkan
atas satu system hukum, yaitu hukum adat
sebagai hukum asli Indonesia, yang kaidah-kaidahnya
bersumber dari:
1. Hukum adat
(Hukum Agraria Adat) yang menimbulkan hak-hak adat yang tunduk pada hukum
agraria adat, misalnya: tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, dan lain-lain (tanah-tanah Indonesia);
2. Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil (Hukum Agraria Barat) yang menimbulkan hak-hak barat atau hak-hak
eropa yang tunduk pada Hukum Agraria Barat (tanah-tanah barat atau tanah-tanah
eropa) misalnya: tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah postal dan lain-lain.
Di samping itu ada pula
hak-hak atas tanah Indonesia yang tidak bersumber pada hukum
adat, misalnya hak eigendom agraris. Pada Zaman Hindia asas-asas hukum
agraria diatur dalam pasal 51 I.S. (Indische Staatsregeling).[4]
C. Tanah dalam UUPA
Bagi
Negara republik Indonesia, dimana struktur kehidupan masyarakatnya yang
mayoritas perekonomiannya bergerak dalam bidang agraria, maka fungsi bumi (tanah), air,
dan ruang angkasa serta semua yang terkandung di dalamnya amatlah penting
sebagai sarana pokok dalam pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur.[5]
Oleh karena itu dalam UUPA pasal 1 ayat 1 dinyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dan seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia”.
Sedangkan dalam ayat 2-nya dinyatakan: “Seluruh
bumi,. Air, dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.Dan dalam pasal 4 ayat 1 selanjutnya dijelaskan
bahwa: “Atas dasar hak menguasai dari Negara, ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunya
oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan hukum.”[6]. Hak
menguasai atas tanah oleh negara seperti yang dimaksudkan di pasal 4 ayat 1 dapat diartikan memberi
wewenang pada negara untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan memelihara tanah;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang dan tanah;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang, perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai tanah.
Jadi,
hak menguasai oleh negara meliputi tanah-tanah yang sudah dihaki
oleh seseorang atau badan hukum maupun
atas tanah-tanah yang belum atau tidak.
Perbedaannya, atas tanah-tanah yang sudah dihaki, yang menguasai oleh negara
tanah tersebut, dibatasi oleh hak yang sudah dimiliki oleh peroranagan atau
badan tersebut. Sedangkan pada tanah yang diatasnya tidak terdapat hak-hak,
sifat penguasaannya oleh negara lebih luas dan lebih lanjut. Hubungan antara bangsa dengan bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia merupakan suatu hubungan yang abadi; artinya selama rakyat Indonesia
masih ada pula maka dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan
apapun yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dalam
pengertian tersebut di atas tidaklah berarti bahwa hak-hak perseorangan atau badan hukum atas
tanah tidak dimungkinkan lagi. Dalam UUPA masih dikenal adanya hak-hak yang
dapat dipunyai perorangan atau badan hukum.
Tetapi dalam hal ini hanya mengenai permukaan bumi saja, yaitu tanah yang dapat
dihaki oleh seorang seperti hak milik, hauk guna usaha, hak guna bangunan dan
sebagainya.[7]
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam
UUPA
Pada
dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi
pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu:
“eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat
diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di
daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan
kembali. Dan kekhawatiran dimana semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah akan
semakin mendesak hak ulayat yang keberadaannya dijamin oleh pasal 3 UUPA. Pengakuan eksistensi
hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, kerena hak ulayat dan masyarakat
adat sudah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Republik
Indonesia yakni 17 agustus 1945.[8]
Ciri-ciri
masyarakat hukum adat:
1.
Adanya kelompok masyarakat.
2.
Mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari kekayaan perorangan.
3.
Mempunyai batas wilayah tertentu.
4.
Mempunyai kewenangan tertentu.[9]
Kedudukan
hak ulayat ini berlaku kedalam (interen) dan keluar (eksteren), berlaku keluar karena bukan warga persekutuan
pada prinsipnya tidak diperbolehkan menggarap tanah yang merupakan wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta
setelah membayar atau memberikan ganti kerugian orang luar bukan warga
persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah
tersebut. Berlaku kedalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang
berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagi suatu kesatuan, melakukan
hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala
tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup didalamnya.
Antara
hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal balik, jika seorang
warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu
secara terus-menerus dan menanam pohon diatas tanah tersebut, sehingga ia
mempunyai hak milik atas tanah itu (UUPA pasal 20), hak milik ini harus
menghormati:
1. Hak ulayat desanya;
2. Kepentingan-kepentingan yang
memiliki tanah;
3. Peraturan-peraturan adat.
Bila
kemudian tanah itu ditinggalkan oleh yang berkepentingan, maka tanah itu
dipengaruhi oleh hak ulayat. Jika terjadi perselisihan, maka kepala adat yang
akan mengambil beberapa tindakan untuk memulihkan perselisihan tersebut,
seperti:
1.
Mengganti kerugian kepada orang yang dirugikan atau masyarakat
adat;
E. Eksistensi Hak Ulayat
UUPA
tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat. Namun, dengan mengacu
pada pengertian-pengerian fundamental tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kriteria
penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni:
1.
Adanya masyarakat hukum adat
yang memenuhi cirri-ciri tertentu subjek hak ulayat;
2.
Adanya tanah atau wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai
lebensraum yang merupakan objek hak ulayat;
3.
Adanya kewenangan masyarakat hukum adat
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana telah diuraikan.
Dipenuhinya
tiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup objektif sebagai kriteria
penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga walaupun ada
masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun
apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan
untuk melakukan tiga tindakan tersebut maka hak ulayat dapat dikatakan sudah
tidak ada lagi.
Pemenuhan
kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu
pihak, bila hak ulayat memang sudah menipis,atau sudah tidak ada lagi hendaknya
hal ini menjadi kesadaran bersama bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat
hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia sejak 17
agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba menghidupkan kembali
hal-hal yang justru dapat mengaburkan kesadaran berbangsa dan bertanah air satu
yakni Indonesia.
Dipihak
lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada, maka harus diberikan pengakuan
atas hak tersebut disamping pembebanan kewajibannya oleh negara. Pengakuan
atas hak itu tampak misalnya, apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan
(sesuai dengan fungsi sosial yang melekat pada hak ulayat) maka pihak
yang memerlukan tanah harus minta izin pada masyarakat hukum adat
tersebut. Dan apabila diperlukan, juga memberikan pemulihan keseimbangan berupa
apapun yang bermanfaat bagi keseluruhan anggota masyarakat hukum adat
maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum
tersebut antara lain, berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta
pelestarian lingkungan nya. Kiranya diperlukan pengaturan tentang hak ulayat
yang berisi pokok-pokok pikiran, antara lain:
1.
mengenai kriteria eksistensi hak ulayat;
2.
siapa saja yang terlibat dan berwenang menentukan eksistensi hak
ulayat tersebut;
3.
mekanisme penentuan hak ulayat;
4.
penempatan/kedudukan hak ulayat dalam system hukum
tanah nasional;
5.
hak-hak dan kewajiban yang melekat pada hak ulayat;
6.
ciri-ciri/sifat-sifat hak ulayat dan lain-lain.[11]
F. Tanah-tanah Ulayat
Tanah
ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan
masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan
penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah sifat religius
hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah
ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh
kelompok dibawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah
hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan,
tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.[12]
G. Perbedaan Agrarian Adat
Dengan Hukum Agrarian Barat
1. Hukum
Agraria adat:
a.
Lembaga hukumnya diatur dalam hukum
adat.
b.
Hukum yang mengaturnya (hukum
adat) tidak tertulis.
c.
Melahirkan tanah hak adat yaitu:
-
Tanah ulayat
-
Tanah hak milik
-
Tanah hak pakai
d.
Tanah adat ini umumnya tidak terdaftar. Kalaupun sudah ada yang
terdaftar maka jumlahnya hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah hak tanah
yang ada misalnya: tanah milik perorangan yang sudah didaftarkan.
e.
Kalaupun pernah didaftarkan pendaftarannya itu hanyalah bertujuan
untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, jadi secara
yuridis bukan sebagai pembuktian hak. Pembuktian hak atas tanah itu didasarkan
atas kesaksian.
2. Hukum
Agraria barat;
a.
Lembaga hukumnya diatur dalam hukum
perdata barat yakni dalam buku II KUHPerdata/ Burgelijk Wetbook
(BW).
b.
Hukum yang mengaturnya ialah hukum perdata barat sudah tertulis dan telah
dikodifikasikan sebagai KUHPerdata/ BurgelijkWetbook
(BW).
c.
Melahirkan tanah hak barat, misalkan:
- Tanah hak eigendom
-
Tanah hak postal
-
Tanah hak erfpacht
-
Tanah hak gebruik dan sebagainya.
d.
Tanah-tanah barat ini umumnya sudah terdaftar dengan
bukti tertulis
e.
Pendaftaran yang pernah dilakukan atas tanah tersebut telah
mempunyai/ bernilai kekuatan bukti secara yuridis.[13]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dengan
demikian, yang berhak sebagai pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat.
Hak ulayat diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Terdapat sekelompok
orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari;
2. Terdapat tanah ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga pesekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
3. Terdapat tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum
tersebut.
Adapun ciri-ciri masyarakat hukum adat yaitu:
1. Adanya kelompok masyarakat.
2. Mempunyai kekayaan sendiri
terlepas dari kekayaan perorangan.
3. Mempunyai batas wilayah
tertentu.
4. Mempunyai kewenangan
tertentu.[14]
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan
Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1986
IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual”, Land Reform, semarang: IAIN Wali songo, 2007, Edisi 25
Iman Sudiyat, Hukum Adat
Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981
Iswantoro, Hand aut
agraria I, Yogyakarta, 2012
Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, Jakarta: kompas, 2007
Myrna A. Safitri, Tristam
Moeliono, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia,
Jakarta: HUMA, 2010
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, KUHP dengan
tambahan UUPA Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: PT. MALTA PRINTINDO,
2008
Purndi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hokum Agraria, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985
[2] Myrna A. Safitri, Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat Di Indonesia, (Jakarta: HUMA, 2010) hlm.192-193
[3] IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual”, Land Reform,
(semarang: IAIN Wali Songo, 2007), Edisi 25, hlm. 28
[4] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka,1986) hlm 318
[5] Ibid. hlm. 321.
[6] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, KUHP dengan tambahan UUPA Dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: PT. MALTA PRINTINDO, 2008) hlm. 516.
[7] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka,1986) hlm. 322-323.
[8] Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, (Jakarta: kompas, 2007) hlm. 54 55
[11] Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, (Jakarta: kompas, 2007) hlm. 58
[13] Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hokum Agraria, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985) hlm. 24-25
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusalay susah dibaca malah bikin mata sakit
BalasHapus