PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami
multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakkan hukum (law
enforcement). Indikasinya ketika dalam penegakkan hukum semata-mata
mengutamakan aspek kepastian hukum (rechtssicherheit) dengan mengabaikan
aspek keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit)
bagi masyarakat. Adagium bahwa cita hukum adalah keadilan (justice)
dalam konteks perkembangan abad 21 telah berubah. Abad nasionalisme modern yang
mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang
arti dan makna keadilan di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.[1]
Karena jelas bahwa hukum, aturan perundang-undangan terutama dalam
implementasinya harus adil, tetapi ternyata yang terjadi adalah ketidakadilan (unjustice)
padahal hukum terkait dengan keadilan, namun dalam praktik dikalangan aparatur
penegak hukum belum sepenuhnya menyadari hal tersebut.
Di samping krisis dalam penegakkan hukum juga
terjadi kecenderungan pengabaian terhadap hukum, ketidakhormatan dan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Sebagai contoh, sejumlah persepsi
ketidakpercayaan masyarakat pada hukum adalah (1) adanya perangkat hukum baik
produk legislatif maupun eksekutif yang dianggap belum mencerminkan keadilan
sosial (social justice); (2) lembaga peradilan yang belum independen dan
imparsial; (3) penegakkan hukum yang masih inkonsisten dan diskriminatif; (4)
perlindungan hukum pada masyarakat yang belum mencapai titik satisfactory.[2]
Hukum dengan demikian dianggap sebagai suatu
pranata yang belum difungsikan optimal, khususnya dalam tahap implementasinya
oleh lembaga penegak hukum, ini terbukti dengan adanya beberapa kasus yang
belum terselesaikan pada era orde baru seperti pembunuhan aktivis munir,
tanjung priok, pembunuhan mahasiswa trisakti yang dimana memperlihatkan rekaman jejak
peradilan yang bobrok, siklus ini pun terus terulang dalam era reformasi
seperti kasus century, mesuji, narkoba terlebih lagi pada tingkat korupsi yang
melibatkan elit politik.
Dari hal tersebut menyebabkan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) di
Indonesia khususnya pengadilan saat ini sangatlah rendah, maka problem yang
muncul adalah penegakan hukum yang seakan mengabaikan keadilan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penegakan hukum
harus mencerminkan keadilan. Sehingga permasalahan pokok tersebut dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa
penegakan hukum cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan...?
2. Bagaimanakah
penegakan hukum yang berorientasi keadilan...?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tegaknya keadilan dalam penegakan
hukum.
2. Untuk
mengetahui penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keterlibatan
Politik dalam Proses Penegakan Hukum
Adanya
keterlibatan politik dalam proses penegakan hukum akan mengembalikan prinsip
demokrasi yang pernah menjadi cobaan masa lalu bahwa apabila tirani politik
dihempaskan kedalam sistem pemerintahan, proses hukum akan mendapat
illegitimasi dalam melakukan ektensi kompetensi dan yurisdiksinya, seperti
halnya kasus korupsi simulator SIM yakni kewenangan mengadilinya antara KPK
ataukah Polri.
Selain dari pada itu, independensi proses
lanjutan penegakan hukum akan tercederai, pada hal harus diyakini bahwa
konstitusi justru menghendaki bebas dan merdeka dari pengaruh pihak manapun. Sebab
hal itu akan memberi warna kepastian sehingga kebenaran formil dalam proses
penegakan hukum menjadi awal menuju langkah pencarian kebenaran materil di
dalam proses peradilan, dimana kebenaran materil akan di presentasikan dan
dieksaminasi dalam proses peradilan. Dalam proses peradilan akan berlaku
seluruh prinsip hukum dari praduga tak bersalah, kesamaan perlakuan di depan hukum,
independensi peradilan yang terbebas dari seluruh bentuk pengaruh termasuk
pengaruh kekuasaan dan tekanan kekuatan sosial serta berbagai macam opini hukum
sehingga pengadilan terhindar dari parsialitas.[3]
Akan tetapi dalam tataran realitasnya kini, banyak kasus korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. Sepertinya hukum
kehilangan nyali, hukum tidak berdaya, hukum telah terhegemoni oleh kepentingan
politik penguasa yang pada intinya telah terjadi krisis hukum di Indonesia.
Bentuk-bentuk lain krisis hukum misalnya hukum
diperjualbelikan, diperdagangkan, dan hukum dibisniskan, seakan-akan keadilan
itu hanya milik kalangan tertentu sehingga disebut “justice (not) for all”
yakni keadilan hanya untuk segelintir orang (penguasa, pengusaha, dan pejabat
negara).[4]
Maka dari pada itu perlunya komitmen dari aparat penegak hukum untuk menegakan
hukum yang berkeadilan. Sepertihalnya prinsip teoritik bahwa hukum akan tetap
dapat tegak dan/ ditegakkan sekali pun langit akan runtuh.
B. Penegakan
Hukum yang Berkeadilan
Menurut
Teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh
keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Dengan kata lain, hukum
menurut teori ini bertujuan merealisasi atau mewujudkan keadilan. Fokus
perhatian utama dari prinsip keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang
paling kurang menguntungkan. Penerapan prinsip keadilan inilah yang menjadi
parameter penilaian masyarakat terhadap kinerja hakim. Itulah sebabnya
Soetandyo Wignjosoebroto memposisikan keadilan (justice) sebagai
jantungnya hukum.
Salah satu pilar atau tuntutan reformasi adalah
terjadinya penegakan hukum yang konsekuen dan tidak terkooptasi oleh kekuasaan.
Sebab, proses penegakan hukum sebenarnya bukan terjadi pada tahap aplikasi/pelaksanaan
hukum saja, tetapi bisa dimulai pada tahap formulasi (tahap pembuatan
undang-undang). Sementara itu Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penegakan
hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi
kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum.
Upaya penegakan hukum juga merupakan bagian
dari penerapan hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran
hukum masyarakat. Kesadaran masyarakat sangat dipengaruhi oleh rasa keadilan
masyarakat. Penegakan hukum pada dasarnya harus memperhatikan aspek-aspek yang
mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut, yaitu: (1) materi hukum
(peraturan/perundang-undangan); (2) aparatur penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, advokat dan lembaga pemasyarakatan); (3) sarana dan prasarana hukum dan
(4) budaya hukum (legal culture).[5]
Oleh karena itu aspek-aspek tersebut dapat
terealisasi dengan baik, agar tujuan penegakan hukum yang paling utama yakni
untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan
kepastian hukum bagi masyarakat. Sebab menurut Gustav Redbruch, keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan tiang penyanggah penegakan hukum.
Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum
yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yang menekankan dan
menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak
di capai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum
bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku
manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan.
Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka
kita lebih banyak berbicara mengenai rasa keadilan.[6]
C. Penegakan
Hukum yang Responsif dan Progresif
Ide penegakan hukum yang responsif merupakan
terobosan yang sangat urgen di Indonesia saat ini atas dasar keprihatinan
terhadap kondisi penegakan hukum yang represif, bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan dan dimensi HAM. Penegakan hukum yang responsif dapat dikatakan
sebagai “conditio sine quanon” saat ini, jika ingin hukum dianggap
sebagai panglima dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Istilah hukum sebagai panglima yang berarti hukum berada digaris depan yang
mampu merespon nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera.
Philippe Nonet dan Philip Selznick
mengintroduksi tipologi hukum responsif (responsive law) sebagai hukum
negara yang mampu merespon dan mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi, dan
kepentingan masyarakat, bukan hukum yang mengakomodasi kepentingan politik
penguasa, pengusaha, dan pejabat negara. Suatu hukum yang responsif masih harus
diperjuangkan dalam tataran implementasinya, agar tidak bertentangan dengan keadilan
dan dimensi HAM. Untuk itu diperlukan suatu hukum progresif terutama dalam
implementasinya. Jadi ada korelasi yang sangat erat antara hukum responsif
dengan hukum progresif. Hukum disatu sisi mengakomodasi kepentingan dan
keberpihakan kepada masyarakat dan di lain sisi lebih berani dan maju dalam
penegakannya terutama oleh aparatur penegak hukum.[7]
Agar terwujudnya suatu penegakan hukum yang
progresif, maka dibutuhkan hukum progresif. Atas dasar itulah Satjipto Rahardjo
menawarkan teori hukum progresif. Inti dari hukum progresif terletak pada
berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen
hukum yang cenderung mengakomodasi kepentingan politik segelintir orang, karena
pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum atau kepentingan politik
segelintir orang, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi
dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai
institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral
dan bernurani, maka karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi kepada manusia. Hukum yang merupakan produk politik seharusnya dapat
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.
Dalam perkembagannya, setidaknya dapat
diidentifikasi beberapa karakter hukum progresif yang diharapkan menjadi tipe
hukum yang mampu memberi jalan bagi pembangunan hukum di Indonesia terutama
dalam implementasinya di masa yang akan datang, yaitu hukum progresif menganut paradigma
(1) hukum diciptakan untuk kesejahteraan manusia; (2) pluralisme hukum; (3)
koordinasi; (4) harmonisasi hukum. Asas yang menjadi penerapannya adalah (1)
asas persatuan; (2) asas kesamaan derajat; (3) asas fungsional.
Pada tataran praktis, maka pelaksanaan
dekonstruksi hukum sebagai bagian dari aplikasi tipe hukum progresif dilakukan
dengan kegiatan menumbuhkan dan menyebarkan kesadaran tentang kebutuhan bangsa
Indonesia terhadap tipe hukum progresif dalam kehidupan berhukum di Indonesia,
karna Indonesia merupakan negara hukum. Maka perlu melakukan sosialisasi hukum
progresif keberbagai kalangan yang meliputi: (1) kalangan akademisi; (2)
kalangan masyarakat umum; (3) kalangan aparat pemerintah; dan (4) kalangan
praktisi hukum.[8] Terlebih
lagi dalam kalangan praktisi hukum/aparatur penegak hukum harus dapat mengamini
apa yang menjadi tujuan dari hukum progresif yakni tidak berpikir semata-mata
menurut “legal way” tetapi lebih daripada itu menurut “reasonable way”.
Apabila terjadi kebuntuan maka para aparatur penegak hukum dapat melakukan cara
alternatif dan kreatif untuk menegakkan hukum yang berkeadilan.[9]
Sehingga dalam tataran realitasnya para aparatur hukum harus memperhatikan
hukum responsif dan hukum progresif yakni hukum sebagai panglima, dimana hukum
berada pada garda terdepan yang mampu merespon nilai-nilai keadilan dengan
berfikir dan bertindak progresif berdasarkan moral yang sesuai dengan alinea
ke-4 pembukaan UUD sehingga terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
D. Analisis
Sesuai dari paparan diatas, maka negara
Indonesia yang merupakaan negara hukum masih mengalami krisis dalam penegakan
hukumnya. Oleh sebab itu, maka ada beberapa faktor yang menyebabkan penegakan
hukum cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yaitu:
1. Faktor Hukumnya
sendiri, yakni adanya perangkat hukum baik produk legislatif maupun eksekutif
dalam hal ini Undang-Undang yang tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.
2. Faktor
Sumber Daya Manusia sebagai penegak hukum, yakni penegak hukum dapat dikatakan
sebagai push de laloa (corong undang-undang) karna hanya berpaku pada
teks dokumen yaitu undang-undang.
3. Faktor
Sarana dan Prasarana Hukum, yakni kurang adanya tenaga manusia (aparatur hukum)
yang berpendidikan dan terampil akibat sistem rekruitment yang lemah, peralatan
yang kurang memadai, dan keuangan yang minim.
4. Faktor
Masyarakat yakni
penerapan hukum harus sesuai dengan lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor Budaya Hukum
yakni kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap masalah-masalah hukum yang
diskriminatif dan cenderung tidak adil.
Oleh sebab itu ada beberapa solusi untuk mengatasi
faktor-faktor yang menyebabkan para penegak hukum cenderung mengabaikan nilai
keadilan:
1. Terhadap masalah sistem
hukum atau hukumnya sendiri yang tidak lain adalah undang-undang, maka perlunya
kontrol politik dan peran aktif oleh masyarakat baik dalam pembuatan rancangan
undang-undang sampai disahkannya, sehingga undang-undang yang disahkan
merupakan konsep yang berpihak kepada masyarakat.
2. Terhadap masalah SDM
sebagai penegak hukum, maka perlunya para penegak hukum yang responsif dan
progresif yakni dapat berfikir cepat dengan mengedepankan hukum yang mampu
merespon nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan prinsip, tradisi dan
kepentingan masyarakat, dan aparatur penegak hukum dapat berfikir dan bertindak
progresif (alternatif dan kreatif) untuk menegakan hukum yang berkeadilan.
3. Terhadap masalah Sarana
dan Prasarana Hukum, maka perlunya pembenahan terhadap sistem rekruitment aparat
penegak hukum, dengan cara memberikan standarisasi yang tinggi dan memperketat
seleksi, lalu memperbaiki peralatan yang kurang memadai, serta mencukupi
keuangan para penegak hukum agar memperkecil tingkat terjadinya mafia peradilan.
4. Terhadap masalah faktor
masyarakat, yang dimana para penegak hukum harus senantiasa memiliki nalar
progresif dimana hukum tersebut diberlakukan, karna hukum di Indonesia bukan
hanya diartikan sebagai undang-undang saja, melainkan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law).
5. Masalah Budaya Hukum
merupakan salah satu masalah yang sangat urgen, maka dari pada itu perlunya
kesadaran masyarakat yang dapat dibentuk melalui pendidikan yang dapat
direalisasikan melalui metode pembelajaran yang bersinergi antara satuan pendidikan
sebagai instrumen mencerdaskan bangsa secara intelektual agar kritis terhadap
masalah hukum, keluarga sebagai internalisasi nilai-nilai sopan santun, kasih
sayang, moralitas dan cinta, lalu lingkungan terutama sekolah sebab dari
sinilah perlakuan-perlakuan yang terus menerus dan terstruktur masif yang
diharapkan dapat mengubah perilaku, sehingga dapat mencetak orang-orang yang
bermoral, religius, amanah, jujur, disiplin, demokratis, dan memiliki semangat
kebangsaan, serta berani bertanggung jawab (akuntabel), untuk menegakan
hukum yang berkeadilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas
serta uraian-uraian pada pembahasan, maka kesimpulannya sebagai berikut:
1. Krisis
yang terjadi dalam penegakan hukum khususnya dalam terciptanya keadilan
disebabkan paradigma para aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama
yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek
keadilan dan aspek kemanfaatan. Artinya aparatur penegak hukum lebih memperhatikan
prosedural hukum, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan yang bermuara pada
penegakan hukum tidak mencapai tujuannya.
2. Rasa
keadilan merupakan nilai yang mendasar dalam penegakan hukum, artinya aparatur
penegak hukum harus senantiasa memperhatikan aspek-aspek yang menghambat
tegaknya hukum dengan kata lain tegaknya keadilan yaitu: masalah produk hukum,
SDM sebagai penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, faktor masyarakat, dan
budaya hukum.
3. Aparatur
penegak hukum belum sepenuhnya memahami bahwa tujuan final penegakan hukum yang
berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Atsasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak
Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Rahardjo,
Satjipto, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum), Kompas, Jakarta.
, 2007, Membedah
Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
B. Jurnal
Gani Abdullah, Abdul, 2010, Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. 7, Prospek Penegakan Hukum Di Indonesia. Pergumulan
Penegakan Hukum dengan Politik Hukum dalam Ranah Teori Hukum, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta.
Suhardin, Yohanes, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena
Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
[1] Romli
Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum,
Penerbit: Mandar Maju, Bandung, hlm. 30.
[2] Yohanes
Suhardin, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam
Penegakan Hukum: Penerbit: Fakultas Hukum UGM, hlm. 342.
[3] Abdul
Gani Abdullah, 2010, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Prospek Penegakan Hukum
Di Indonesia. Pergumulan Penegakan Hukum dengan Politik Hukum dalam Ranah
Teori Hukum, Penerbit: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian
Hukum dan HAM RI, hlm. 447-448.
[4] Yohanes
Suhardin, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam
Penegakan Hukum, Penerbit: Fakultas Hukum UGM, hlm. 343.
[5] Ibid,
hlm. 344.
[6] Satjipto
Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: (Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum), Penerbit: Kompas, Jakarta, hlm. 84-85.
[7] Yohanes
Suhardin, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam
Penegakan Hukum, Penerbit: Fakultas Hukum UGM, hlm. 345-346.
[8] Satjipto
Rahatdjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit: Kompas, Jakarta,
hlm. 195.
[9] Ibid, hlm.
10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar