Senin, 17 Desember 2012

Meneguh Kembali Rasa Keadilan (Problematika Penegakkan Hukum)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakkan hukum (law enforcement). Indikasinya ketika dalam penegakkan hukum semata-mata mengutamakan aspek kepastian hukum (rechtssicherheit) dengan mengabaikan aspek keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat. Adagium bahwa cita hukum adalah keadilan (justice) dalam konteks perkembangan abad 21 telah berubah. Abad nasionalisme modern yang mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.[1] Karena jelas bahwa hukum, aturan perundang-undangan terutama dalam implementasinya harus adil, tetapi ternyata yang terjadi adalah ketidakadilan (unjustice) padahal hukum terkait dengan keadilan, namun dalam praktik dikalangan aparatur penegak hukum belum sepenuhnya menyadari hal tersebut.
Di samping krisis dalam penegakkan hukum juga terjadi kecenderungan pengabaian terhadap hukum, ketidakhormatan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Sebagai contoh, sejumlah persepsi ketidakpercayaan masyarakat pada hukum adalah (1) adanya perangkat hukum baik produk legislatif maupun eksekutif yang dianggap belum mencerminkan keadilan sosial (social justice); (2) lembaga peradilan yang belum independen dan imparsial; (3) penegakkan hukum yang masih inkonsisten dan diskriminatif; (4) perlindungan hukum pada masyarakat yang belum mencapai titik satisfactory.[2]
Hukum dengan demikian dianggap sebagai suatu pranata yang belum difungsikan optimal, khususnya dalam tahap implementasinya oleh lembaga penegak hukum, ini terbukti dengan adanya beberapa kasus yang belum terselesaikan pada era orde baru seperti pembunuhan aktivis munir, tanjung priok, pembunuhan mahasiswa trisakti  yang dimana memperlihatkan rekaman jejak peradilan yang bobrok, siklus ini pun terus terulang dalam era reformasi seperti kasus century, mesuji, narkoba terlebih lagi pada tingkat korupsi yang melibatkan elit politik.
Dari hal tersebut menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia khususnya pengadilan saat ini sangatlah rendah, maka problem yang muncul adalah penegakan hukum yang seakan mengabaikan keadilan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka penegakan hukum harus mencerminkan keadilan. Sehingga permasalahan pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1.   Mengapa penegakan hukum cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan...?
2.   Bagaimanakah penegakan hukum yang berorientasi keadilan...?               

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tegaknya keadilan dalam penegakan hukum.
2. Untuk mengetahui penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan.  

















BAB II
PEMBAHASAN

A. Keterlibatan Politik dalam Proses Penegakan Hukum

Adanya keterlibatan politik dalam proses penegakan hukum akan mengembalikan prinsip demokrasi yang pernah menjadi cobaan masa lalu bahwa apabila tirani politik dihempaskan kedalam sistem pemerintahan, proses hukum akan mendapat illegitimasi dalam melakukan ektensi kompetensi dan yurisdiksinya, seperti halnya kasus korupsi simulator SIM yakni kewenangan mengadilinya antara KPK ataukah Polri.
Selain dari pada itu, independensi proses lanjutan penegakan hukum akan tercederai, pada hal harus diyakini bahwa konstitusi justru menghendaki bebas dan merdeka dari pengaruh pihak manapun. Sebab hal itu akan memberi warna kepastian sehingga kebenaran formil dalam proses penegakan hukum menjadi awal menuju langkah pencarian kebenaran materil di dalam proses peradilan, dimana kebenaran materil akan di presentasikan dan dieksaminasi dalam proses peradilan. Dalam proses peradilan akan berlaku seluruh prinsip hukum dari praduga tak bersalah, kesamaan perlakuan di depan hukum, independensi peradilan yang terbebas dari seluruh bentuk pengaruh termasuk pengaruh kekuasaan dan tekanan kekuatan sosial serta berbagai macam opini hukum sehingga pengadilan terhindar dari parsialitas.[3] Akan tetapi dalam tataran realitasnya kini, banyak kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. Sepertinya hukum kehilangan nyali, hukum tidak berdaya, hukum telah terhegemoni oleh kepentingan politik penguasa yang pada intinya telah terjadi krisis hukum di Indonesia.
Bentuk-bentuk lain krisis hukum misalnya hukum diperjualbelikan, diperdagangkan, dan hukum dibisniskan, seakan-akan keadilan itu hanya milik kalangan tertentu sehingga disebut “justice (not) for all” yakni keadilan hanya untuk segelintir orang (penguasa, pengusaha, dan pejabat negara).[4] Maka dari pada itu perlunya komitmen dari aparat penegak hukum untuk menegakan hukum yang berkeadilan. Sepertihalnya prinsip teoritik bahwa hukum akan tetap dapat tegak dan/ ditegakkan sekali pun langit akan runtuh.

B. Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Menurut Teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Dengan kata lain, hukum menurut teori ini bertujuan merealisasi atau mewujudkan keadilan. Fokus perhatian utama dari prinsip keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang menguntungkan. Penerapan prinsip keadilan inilah yang menjadi parameter penilaian masyarakat terhadap kinerja hakim. Itulah sebabnya Soetandyo Wignjosoebroto memposisikan keadilan (justice) sebagai jantungnya hukum.
Salah satu pilar atau tuntutan reformasi adalah terjadinya penegakan hukum yang konsekuen dan tidak terkooptasi oleh kekuasaan. Sebab, proses penegakan hukum sebenarnya bukan terjadi pada tahap aplikasi/pelaksanaan hukum saja, tetapi bisa dimulai pada tahap formulasi (tahap pembuatan undang-undang). Sementara itu Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.
Upaya penegakan hukum juga merupakan bagian dari penerapan hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran masyarakat sangat dipengaruhi oleh rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum pada dasarnya harus memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut, yaitu: (1) materi hukum (peraturan/perundang-undangan); (2) aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat dan lembaga pemasyarakatan); (3) sarana dan prasarana hukum dan (4) budaya hukum (legal culture).[5]           
Oleh karena itu aspek-aspek tersebut dapat terealisasi dengan baik, agar tujuan penegakan hukum yang paling utama yakni untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sebab menurut Gustav Redbruch, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yang menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak di capai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara mengenai rasa keadilan.[6]

C. Penegakan Hukum yang Responsif dan Progresif

Ide penegakan hukum yang responsif merupakan terobosan yang sangat urgen di Indonesia saat ini atas dasar keprihatinan terhadap kondisi penegakan hukum yang represif, bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan dimensi HAM. Penegakan hukum yang responsif dapat dikatakan sebagai “conditio sine quanon” saat ini, jika ingin hukum dianggap sebagai panglima dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Istilah hukum sebagai panglima yang berarti hukum berada digaris depan yang mampu merespon nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Philippe Nonet dan Philip Selznick mengintroduksi tipologi hukum responsif (responsive law) sebagai hukum negara yang mampu merespon dan mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi, dan kepentingan masyarakat, bukan hukum yang mengakomodasi kepentingan politik penguasa, pengusaha, dan pejabat negara. Suatu hukum yang responsif masih harus diperjuangkan dalam tataran implementasinya, agar tidak bertentangan dengan keadilan dan dimensi HAM. Untuk itu diperlukan suatu hukum progresif terutama dalam implementasinya. Jadi ada korelasi yang sangat erat antara hukum responsif dengan hukum progresif. Hukum disatu sisi mengakomodasi kepentingan dan keberpihakan kepada masyarakat dan di lain sisi lebih berani dan maju dalam penegakannya terutama oleh aparatur penegak hukum.[7]
Agar terwujudnya suatu penegakan hukum yang progresif, maka dibutuhkan hukum progresif. Atas dasar itulah Satjipto Rahardjo menawarkan teori hukum progresif. Inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum yang cenderung mengakomodasi kepentingan politik segelintir orang, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum atau kepentingan politik segelintir orang, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral dan bernurani, maka karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum yang merupakan produk politik seharusnya dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
Dalam perkembagannya, setidaknya dapat diidentifikasi beberapa karakter hukum progresif yang diharapkan menjadi tipe hukum yang mampu memberi jalan bagi pembangunan hukum di Indonesia terutama dalam implementasinya di masa yang akan datang, yaitu hukum progresif menganut paradigma (1) hukum diciptakan untuk kesejahteraan manusia; (2) pluralisme hukum; (3) koordinasi; (4) harmonisasi hukum. Asas yang menjadi penerapannya adalah (1) asas persatuan; (2) asas kesamaan derajat; (3) asas fungsional.
Pada tataran praktis, maka pelaksanaan dekonstruksi hukum sebagai bagian dari aplikasi tipe hukum progresif dilakukan dengan kegiatan menumbuhkan dan menyebarkan kesadaran tentang kebutuhan bangsa Indonesia terhadap tipe hukum progresif dalam kehidupan berhukum di Indonesia, karna Indonesia merupakan negara hukum. Maka perlu melakukan sosialisasi hukum progresif keberbagai kalangan yang meliputi: (1) kalangan akademisi; (2) kalangan masyarakat umum; (3) kalangan aparat pemerintah; dan (4) kalangan praktisi hukum.[8] Terlebih lagi dalam kalangan praktisi hukum/aparatur penegak hukum harus dapat mengamini apa yang menjadi tujuan dari hukum progresif yakni tidak berpikir semata-mata menurut “legal way” tetapi lebih daripada itu menurut “reasonable way”. Apabila terjadi kebuntuan maka para aparatur penegak hukum dapat melakukan cara alternatif dan kreatif untuk menegakkan hukum yang berkeadilan.[9] Sehingga dalam tataran realitasnya para aparatur hukum harus memperhatikan hukum responsif dan hukum progresif yakni hukum sebagai panglima, dimana hukum berada pada garda terdepan yang mampu merespon nilai-nilai keadilan dengan berfikir dan bertindak progresif berdasarkan moral yang sesuai dengan alinea ke-4 pembukaan UUD sehingga terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

D. Analisis

Sesuai dari paparan diatas, maka negara Indonesia yang merupakaan negara hukum masih mengalami krisis dalam penegakan hukumnya. Oleh sebab itu, maka ada beberapa faktor yang menyebabkan penegakan hukum cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yaitu:
1. Faktor Hukumnya sendiri, yakni adanya perangkat hukum baik produk legislatif maupun eksekutif dalam hal ini Undang-Undang yang tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.
2. Faktor Sumber Daya Manusia sebagai penegak hukum, yakni penegak hukum dapat dikatakan sebagai push de laloa (corong undang-undang) karna hanya berpaku pada teks dokumen yaitu undang-undang.
3. Faktor Sarana dan Prasarana Hukum, yakni kurang adanya tenaga manusia (aparatur hukum) yang berpendidikan dan terampil akibat sistem rekruitment yang lemah, peralatan yang kurang memadai, dan keuangan yang minim.
4. Faktor Masyarakat yakni penerapan hukum harus sesuai dengan lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor Budaya Hukum yakni kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap masalah-masalah hukum yang diskriminatif dan cenderung tidak adil.

Oleh sebab itu ada beberapa solusi untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan para penegak hukum cenderung mengabaikan nilai keadilan:

1. Terhadap masalah sistem hukum atau hukumnya sendiri yang tidak lain adalah undang-undang, maka perlunya kontrol politik dan peran aktif oleh masyarakat baik dalam pembuatan rancangan undang-undang sampai disahkannya, sehingga undang-undang yang disahkan merupakan konsep yang berpihak kepada masyarakat.
2. Terhadap masalah SDM sebagai penegak hukum, maka perlunya para penegak hukum yang responsif dan progresif yakni dapat berfikir cepat dengan mengedepankan hukum yang mampu merespon nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan prinsip, tradisi dan kepentingan masyarakat, dan aparatur penegak hukum dapat berfikir dan bertindak progresif (alternatif dan kreatif) untuk menegakan hukum yang berkeadilan.
3. Terhadap masalah Sarana dan Prasarana Hukum, maka perlunya pembenahan terhadap sistem rekruitment aparat penegak hukum, dengan cara memberikan standarisasi yang tinggi dan memperketat seleksi, lalu memperbaiki peralatan yang kurang memadai, serta mencukupi keuangan para penegak hukum agar memperkecil tingkat terjadinya mafia peradilan.
4. Terhadap masalah faktor masyarakat, yang dimana para penegak hukum harus senantiasa memiliki nalar progresif dimana hukum tersebut diberlakukan, karna hukum di Indonesia bukan hanya diartikan sebagai undang-undang saja, melainkan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
5. Masalah Budaya Hukum merupakan salah satu masalah yang sangat urgen, maka dari pada itu perlunya kesadaran masyarakat yang dapat dibentuk melalui pendidikan yang dapat direalisasikan melalui metode pembelajaran yang bersinergi antara satuan pendidikan sebagai instrumen mencerdaskan bangsa secara intelektual agar kritis terhadap masalah hukum, keluarga sebagai internalisasi nilai-nilai sopan santun, kasih sayang, moralitas dan cinta, lalu lingkungan terutama sekolah sebab dari sinilah perlakuan-perlakuan yang terus menerus dan terstruktur masif yang diharapkan dapat mengubah perilaku, sehingga dapat mencetak orang-orang yang bermoral, religius, amanah, jujur, disiplin, demokratis, dan memiliki semangat kebangsaan, serta berani bertanggung jawab (akuntabel), untuk menegakan hukum yang berkeadilan.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas serta uraian-uraian pada pembahasan, maka kesimpulannya sebagai berikut:
1. Krisis yang terjadi dalam penegakan hukum khususnya dalam terciptanya keadilan disebabkan paradigma para aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek keadilan dan aspek kemanfaatan. Artinya aparatur penegak hukum lebih memperhatikan prosedural hukum, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan yang bermuara pada penegakan hukum tidak mencapai tujuannya.
2. Rasa keadilan merupakan nilai yang mendasar dalam penegakan hukum, artinya aparatur penegak hukum harus senantiasa memperhatikan aspek-aspek yang menghambat tegaknya hukum dengan kata lain tegaknya keadilan yaitu: masalah produk hukum, SDM sebagai penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, faktor masyarakat, dan budaya hukum.
3. Aparatur penegak hukum belum sepenuhnya memahami bahwa tujuan final penegakan hukum yang berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
  

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Atsasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung.   
  Rahardjo, Satjipto, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Kompas, Jakarta.
                           , 2007, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.

B. Jurnal

Gani Abdullah, Abdul, 2010, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7, Prospek Penegakan Hukum Di Indonesia. Pergumulan Penegakan Hukum dengan Politik Hukum dalam Ranah Teori Hukum, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta.
Suhardin, Yohanes, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.


[1] Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Penerbit: Mandar Maju, Bandung, hlm. 30. 
[2] Yohanes Suhardin, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum: Penerbit: Fakultas Hukum UGM, hlm. 342.   
[3] Abdul Gani Abdullah, 2010, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Prospek Penegakan Hukum Di Indonesia. Pergumulan Penegakan Hukum dengan Politik Hukum dalam Ranah Teori Hukum, Penerbit: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, hlm. 447-448.
[4] Yohanes Suhardin, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum, Penerbit: Fakultas Hukum UGM, hlm. 343.
[5] Ibid, hlm. 344.
[6] Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: (Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit: Kompas, Jakarta, hlm. 84-85.    
[7] Yohanes Suhardin, 2009, Jurnal Hukum Vol. 21, Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum, Penerbit: Fakultas Hukum UGM, hlm. 345-346.
[8] Satjipto Rahatdjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit: Kompas, Jakarta, hlm. 195.
[9] Ibid, hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar