Selasa, 18 Desember 2012

Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung


Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD 1945. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelenggaraan negara Indonesia sebagai suatu negara hukum, penegasan prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka; penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law; mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim; sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing; setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945; menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum; dan penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
Dalam prinsip perimbangan kekuasaan (check and balances) ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajiban ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya ke arah tersebut dilakukan dengan cara :
1. Mengadakan penataan ulang lembaga yudikatif
2. Peningkatan kualifikasi hukum;
3. Penataan ulang perundang-undangan yang berlaku.
          Prinsip checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antar cabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsip-prinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif.
2. Kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
3. Kekuasaan untuk menyatakan apakah anggota masyarakat bertingkah laku sesuai dengan peraturan legislatif dan apakah kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan peraturan legislatif tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang ada, yang disebut kekuasaan yudikatif.
Pemikiran modern tentang pemisahan kekuasaan yang menjadi acuan organisasi negara demokrasi modern, dikemukakan Montesquieu, kekuasaan dibagi menjadi tiga (trias politica),yaitu kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili,   masing-masing kekuasaan harus dipisahkan dan dipegang lembaga yang berbeda-beda. Apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan atau lembaga yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan karena pembuat hukum yang juga akan melaksanakan hukum tersebut akan memperbesar kekuasaannya sendiri. Apabila kekuasaan legislatif digabungkan dengan kekuasaan yudikatif, kehidupan dan kemerdekaan warga negara akan dikuasai pengawasan yang sewenang-wenang, karena hakim juga menjadi pembuat undang-undang. Apabila kekuasaan yudikatif digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, hakim akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Dalam UUD 1945 sebelum adanya perubahan pada 1999 hingga 2002 tidak menganut pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi menerapkan model lain, yang disebut beberapa ahli hukum dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power), kekuasaan tidak dipisah-pisahkan menurut fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada lembaga yang berbeda-beda, kekuasaan dibagi-bagi di antara lembaga-lembaga negara dengan tumpuan kekuasaan yang utama adalah pada presiden.
Perubahan UUD 1945 pada era reformasi tahun 1999 hingga 2002 adalah menerapkan pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances. Antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara tegas dipisahkan dan dipegang lembaga yang berbeda. Kekuasaan yudikatif, atau dalam UUD 1945 disebut sebagai kekuasaan kehakiman, adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ini dilakukan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang, dan wewenang lain yang diberikan undang-undang. Sedangkan dalam pasal 24 C UUD, MK memiliki empat wewenang dan satu kewajiban. Wewenang MK adalah menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Dalam penerapan pemisahan kekuasaan, di samping memiliki makna positif untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif tersebut adalah karena kekuasaan yang sejajar antar cabang kekuasaan, terdapat potensi kebuntuan hubungan antar cabang kekuasaan yang akan mengganggu roda penyelenggaraan negara. Selain itu, masih terdapat potensi penyalahgunaan di lingkungan cabang kekuasaan tertentu oleh lembaga negara pemegang cabang kekuasaan tersebut. Sementara itu, dalam kekuasaan kehakiman yang ditentukan UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka. Meski demikian, tidak berarti kekuasaan kehakiman yang dilakukan MA dan MK merupakan kekuasaan yang bebas dari pengawasan dan perimbangan. Keberadaan MA dan MK ditentukan UU yang pembuatannya merupakan wilayah cabang kekuasaan legislatif. Perimbangan juga dapat dilihat dari pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi. Hakim agung diusulkan KY kepada DPR dan ditetapkan presiden yang termaktub pada pasal 24 A ayat (3) UUD. Hakim konstitusi diusulkan masing- masing tiga orang oleh DPR, presiden, dan MA sesuai pasal 24 ayat (3) UUD. Namun,cara pengisian jabatan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa hakim agung dan hakim konstitusi tunduk kepada lembaga yang mengangkat. Setelah hakim agung dan hakim konstitusi diangkat, menjadi institusi yang merdeka, sejajar dengan institusi yang mengangkatnya tersebut.
Jika kita melakukan komparatif antara kewenangan MA dengan MK bahwa, MA bertugas mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah Undang-Undang dan melakukan upaya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (legal review) dan yang menjadi batu penguji oleh MA adalah UU bukan UUD. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengujian norma hukum yang dilakukan oleh MA adalah pengujian legalitas peraturan (juridicial review on the legality of regulation).  Sedangkan MK bertugas mengadili perkara pelanggaran Undang-Undang Dasar yakni melakukan upaya pengujian UU terhadap UUD yang putusannya bersifat final atau dengan istilah pengujian konstitusional atas Undang-Undang (constitutional review of law).
Jadi dari pemaparan diatas hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yakni saling mengawasi satu sama lain demi terwujudnya prinsip check and balances terhadap penyelenggaraan negara dalam bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar