Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan UUD 1945. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu
prinsip penting dalam penyelenggaraan negara Indonesia sebagai suatu negara
hukum, penegasan prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)]
dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka;
penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip
due process of law; mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian
para pejabat negara, seperti Hakim; sistem konstitusional berdasarkan
perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan
dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing; setiap lembaga
negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945; menata kembali lembaga-lembaga
negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan
sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum; dan penyempurnaan
pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan
dengan perkembangan negara demokrasi modern.
Dalam
prinsip perimbangan kekuasaan (check and balances) ini menghendaki kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun,
sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajiban ada jaminan ketidakberpihakan
kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya ke arah tersebut
dilakukan dengan cara :
1. Mengadakan
penataan ulang lembaga yudikatif
2. Peningkatan
kualifikasi hukum;
3. Penataan
ulang perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip
checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan.
Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan
antar cabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam
satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa
kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Kekuasaan untuk mengadakan
peraturan-peraturan berupa prinsip-prinsip yang harus ditaati warga negara,
yang disebut kekuasaan legislatif.
2. Kekuasaan untuk melaksanakan
peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
3. Kekuasaan untuk menyatakan
apakah anggota masyarakat bertingkah laku sesuai dengan peraturan legislatif
dan apakah kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan peraturan legislatif tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip yang ada, yang disebut kekuasaan yudikatif.
Pemikiran modern tentang pemisahan kekuasaan
yang menjadi acuan organisasi negara demokrasi modern, dikemukakan Montesquieu,
kekuasaan dibagi menjadi tiga (trias politica),yaitu kekuasaan legislatif atau
pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan menjalankan
undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili, masing-masing kekuasaan harus dipisahkan dan
dipegang lembaga yang berbeda-beda. Apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif
disatukan pada tangan atau lembaga yang sama, tidak mungkin terdapat
kemerdekaan karena pembuat hukum yang juga akan melaksanakan hukum tersebut
akan memperbesar kekuasaannya sendiri. Apabila kekuasaan legislatif digabungkan
dengan kekuasaan yudikatif, kehidupan dan kemerdekaan warga negara akan
dikuasai pengawasan yang sewenang-wenang, karena hakim juga menjadi pembuat
undang-undang. Apabila kekuasaan yudikatif digabungkan dengan kekuasaan
eksekutif, hakim akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Dalam
UUD 1945 sebelum adanya perubahan pada 1999 hingga 2002 tidak menganut
pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi menerapkan model lain, yang disebut
beberapa ahli hukum dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power),
kekuasaan tidak dipisah-pisahkan menurut fungsi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif pada lembaga yang berbeda-beda, kekuasaan dibagi-bagi di antara
lembaga-lembaga negara dengan tumpuan kekuasaan yang utama adalah pada
presiden.
Perubahan UUD 1945 pada era reformasi tahun
1999 hingga 2002 adalah menerapkan pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks
and balances. Antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara
tegas dipisahkan dan dipegang lembaga yang berbeda. Kekuasaan yudikatif, atau
dalam UUD 1945 disebut sebagai kekuasaan kehakiman, adalah kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan ini dilakukan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di
bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). MA berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang, dan
wewenang lain yang diberikan undang-undang. Sedangkan dalam pasal 24 C UUD, MK
memiliki empat wewenang dan satu kewajiban. Wewenang MK adalah menguji UU
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Dalam penerapan
pemisahan kekuasaan, di samping memiliki makna positif untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, juga memiliki dampak negatif. Dampak
negatif tersebut adalah karena kekuasaan yang sejajar antar cabang kekuasaan,
terdapat potensi kebuntuan hubungan antar cabang kekuasaan yang akan mengganggu
roda penyelenggaraan negara. Selain itu, masih terdapat potensi penyalahgunaan
di lingkungan cabang kekuasaan tertentu oleh lembaga negara pemegang cabang
kekuasaan tersebut. Sementara itu, dalam kekuasaan kehakiman yang ditentukan
UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka. Meski demikian, tidak berarti
kekuasaan kehakiman yang dilakukan MA dan MK merupakan kekuasaan yang bebas
dari pengawasan dan perimbangan. Keberadaan MA dan MK ditentukan UU yang
pembuatannya merupakan wilayah cabang kekuasaan legislatif. Perimbangan juga
dapat dilihat dari pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi. Hakim
agung diusulkan KY kepada DPR dan ditetapkan presiden yang termaktub pada pasal
24 A ayat (3) UUD. Hakim konstitusi diusulkan masing- masing tiga orang oleh
DPR, presiden, dan MA sesuai pasal 24 ayat (3) UUD. Namun,cara pengisian
jabatan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa hakim agung dan hakim konstitusi
tunduk kepada lembaga yang mengangkat. Setelah hakim agung dan hakim konstitusi
diangkat, menjadi institusi yang merdeka, sejajar dengan institusi yang
mengangkatnya tersebut.
Jika
kita melakukan komparatif antara kewenangan MA dengan MK bahwa, MA bertugas
mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah Undang-Undang dan melakukan
upaya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (legal
review) dan yang menjadi batu penguji oleh MA adalah UU bukan UUD. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa pengujian norma hukum yang dilakukan oleh MA adalah
pengujian legalitas peraturan (juridicial review on the legality of
regulation). Sedangkan MK bertugas
mengadili perkara pelanggaran Undang-Undang Dasar yakni melakukan upaya
pengujian UU terhadap UUD yang putusannya bersifat final atau dengan istilah
pengujian konstitusional atas Undang-Undang (constitutional review of law).
Jadi
dari pemaparan diatas hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung
sebagai lembaga yudikatif yakni saling mengawasi satu sama lain demi
terwujudnya prinsip check and balances terhadap penyelenggaraan negara dalam
bidang peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dengan menempatkan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar