Selasa, 18 Desember 2012

"Tong Kosong" Negara Hukum Indonesia


        Jika melihat apa yang menjadi judul tulisan ini mungkin bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita, negara hukum telah menjadi sebuah cita ideal Negara Indonesia. Hal ini tebukti pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang secara jelas tertulis bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum. Maka untuk mewujudkan sebuah cita Negara yang telah menjadi konsensus bangsa Indonesia, segala apa yang menjadi dasar perjalanan roda (rule play) dan  kebijakan pemerintahan (legal Policy) harus didasarkan pada sebuah hukum atau adanya undang-undang.
Secara teoritis, apa yang telah dirumuskan oleh A. V. Diecy yang kemudian dikenal dengan “The Rule of Law, Not of Man” di Negara-negara yang menganut Anglo Saxon atau dengan teori yang dikemukakan oleh Julius Stahl di Negara Eropa Kontinental yang kemudian dikenal dengan istilah “Rechtstaat”, Negara hukum adalah sebuah keniscayaan yang harus ada dalam sebuah perkembangan Negara Modern dalam saat ini.
      Secara teoritis prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl mempunyai instrumen yang hampir sama dengan prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Diecy untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
      Namun jika melihat konstelasi penegakan hukum di Indonesia sekarang ini banyak pihak yang akan mempertanyakan dan menggugat apa yang ditegaskan dalam konsep negara hukum. Banyaknya kasus hukum yang melibatkan sejumlah elite khusus, para birokrat, kader partai, terlebih partai penguasa yang selama ini senantiasa menghiasi kasus korupsi “besar-besaran” bahkan dilakukan secara berjamaah semakin menjadikan pertanyaan dalam benak bangsa ini, negara hukum macam apa Indonesia ini? Ketika banyak para koruptor “kerah putih” begitu mudahnya lolos dan bahkan bisa bebas dari jeratan hukum (vrijspraak) tetapi jika kaum masyarakat bawah (the have not) begitu mudahnya putusan itu dijatuhkan, bahkan banyak kasus yang terjadi selama ini, seperti kasus pencurian sandal, pencurian piring, pencurian semangka, dan lain-lain memperlihatkan dan sekaligus menjadi bukti adanya disparitas keadilan yang sangat menyolok.  
     Dipungkiri atau tidak, salah satu yang melatarbelakangi putusan hakim selama ini adalah adanya konsep paradigma hukum yang sangat menjunjung tinggi ajaran positivisme hukum. Doktrin legalitas hukum mendorong para hakim hanya sebagai corong undang-undang yang mengakibatkan hakim hanya memutus apa yang dituliskan dalam aturan pasal dan ayat semata. Keadilan telah terfragmentasi dalam sebuah keadilan yang normatif saja, tanpa melihat ulang nilai substantif dari keadilan itu sendiri, hanya mengedepankan kebenaran semata tanpa menyertakan keadilan.
      Banyaknya kasus pencurian yang menjerat kaum tak berpunya seperti yang telah disebutkan di atas pasti akan menjadikan banyak orang sepakat dan mengatakan benar bahwa tindak pencurian adalah salah dan harus dihukum, tetapi jika melihat hukuman dalam aturan hukumnya belum tentu setiap  orang akan mengatakan benar dan sepakat atas keadilan yang diperoleh dari putusan tersebut, terlebih jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang menjerat kaum elit. Kebenaran saja tidak cukup, suatu kebenaran harus menyertakan nilai keadilan didalamnya.
     Doktrin positivisme hukum yang dipahami dalam sistem hukum di negeri ini adalah merupakan warisan kolonial belanda yang selalu terpaku pada aturan, bunyi ayat dan pasal yang ada dalam undang-undang, maka terlepas dari itu semua bahwa nilai keadilan yang ada dalam undang-undang sangat perlu direvitalisasi dan dikontekskan kembali dalam bingkai keindonesiaan. Selain itu sangat diperlukan keberanian para hakim dan para penegak hukum lainnya termasuk para legislator untuk menciptakan dan mewujudkan hukum progressive yang memiliki nilai keadilan.
     Di sisi lain ada tuntutan mendesak terhadap hakim untuk setidaknya merefleksi dalam tiga hal; yaitu relevansi sosial teks undang-undang, moralitas hukum, dan rasa keadilan masyarakat. Maka kedudukan teks undang-undang adalah menjadi instrumen terpenting dalam mewujudkan keadilan, bukan malah mendekonstruksi keadilan. Karena sesungguhnya nilai tertinggi cita-cita hukum adalah keadilan substantif dan kepastian hukum adalah sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan keadilan substantif itu.
      Melihat realita wajah penegakan hukum indonesia selama ini, maka tak ada salahnya jika muncul istilah “Tong kosong” negara hukum Indonesia. Kalau ada istilah “Tong kosong nyaring bunyinya” maka tepat kiranya sebagai sebuah wujud analogi penegakan hukum di negara hukum Indonesia. Sering kali kita mendengar bahwa Indonesia adalah negara hukum, bahkan tak jarang diutarakan oleh para pemegang kekuasaan (pemerintah) itu sendiri, tapi nyatanya suara nyaringnya hanya berwujud kosong belaka, tanpa isi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar