Jika melihat apa yang menjadi
judul tulisan ini mungkin bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita, negara
hukum telah menjadi sebuah cita ideal Negara Indonesia. Hal ini tebukti pada
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang secara jelas tertulis bahwa
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum. Maka untuk mewujudkan
sebuah cita Negara yang telah menjadi konsensus bangsa Indonesia,
segala apa yang menjadi dasar perjalanan roda (rule play) dan kebijakan
pemerintahan (legal Policy) harus didasarkan pada sebuah hukum atau
adanya undang-undang.
Secara teoritis, apa yang
telah dirumuskan oleh A. V. Diecy yang kemudian dikenal dengan “The Rule of
Law, Not of Man” di Negara-negara yang menganut Anglo Saxon atau dengan
teori yang dikemukakan oleh Julius Stahl di Negara Eropa Kontinental yang
kemudian dikenal dengan istilah “Rechtstaat”, Negara hukum adalah sebuah
keniscayaan yang harus ada dalam sebuah perkembangan Negara Modern dalam saat
ini.
Secara teoritis prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh
Julius Stahl mempunyai
instrumen yang hampir sama dengan
prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Diecy untuk menandai
ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The
International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah
lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Namun jika melihat
konstelasi penegakan hukum di Indonesia sekarang ini banyak pihak yang akan
mempertanyakan dan menggugat apa yang ditegaskan dalam konsep negara hukum.
Banyaknya kasus hukum yang melibatkan sejumlah elite khusus, para birokrat,
kader partai, terlebih partai penguasa yang selama ini senantiasa menghiasi
kasus korupsi “besar-besaran” bahkan dilakukan secara berjamaah semakin
menjadikan pertanyaan dalam benak bangsa ini, negara hukum macam apa Indonesia
ini? Ketika banyak para koruptor “kerah putih” begitu mudahnya lolos dan bahkan
bisa bebas dari jeratan hukum (vrijspraak) tetapi jika kaum masyarakat
bawah (the have not) begitu mudahnya putusan itu dijatuhkan, bahkan
banyak kasus yang terjadi selama ini, seperti kasus pencurian sandal, pencurian
piring, pencurian semangka, dan lain-lain memperlihatkan dan sekaligus menjadi
bukti adanya disparitas keadilan yang sangat menyolok.
Dipungkiri atau tidak,
salah satu yang melatarbelakangi putusan hakim selama ini adalah adanya konsep
paradigma hukum yang sangat menjunjung tinggi ajaran positivisme hukum. Doktrin
legalitas hukum mendorong para hakim hanya sebagai corong undang-undang yang
mengakibatkan hakim hanya memutus apa yang dituliskan dalam aturan pasal dan
ayat semata. Keadilan telah terfragmentasi dalam sebuah keadilan yang normatif
saja, tanpa melihat ulang nilai substantif dari keadilan itu sendiri, hanya
mengedepankan kebenaran semata tanpa menyertakan keadilan.
Banyaknya kasus pencurian
yang menjerat kaum tak berpunya seperti yang telah disebutkan di atas pasti
akan menjadikan banyak orang sepakat dan mengatakan benar bahwa tindak
pencurian adalah salah dan harus dihukum, tetapi jika melihat hukuman dalam
aturan hukumnya belum tentu setiap orang
akan mengatakan benar dan sepakat atas keadilan yang diperoleh dari putusan
tersebut, terlebih jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang menjerat kaum
elit. Kebenaran saja tidak cukup, suatu kebenaran harus menyertakan nilai
keadilan didalamnya.
Doktrin positivisme hukum
yang dipahami dalam sistem hukum di negeri ini adalah merupakan warisan
kolonial belanda yang selalu terpaku pada aturan, bunyi ayat dan pasal yang ada
dalam undang-undang, maka terlepas dari itu semua bahwa nilai keadilan yang ada
dalam undang-undang sangat perlu direvitalisasi dan dikontekskan kembali dalam
bingkai keindonesiaan. Selain itu sangat diperlukan keberanian para hakim dan
para penegak hukum lainnya termasuk para legislator untuk menciptakan dan
mewujudkan hukum progressive yang memiliki nilai keadilan.
Di sisi lain ada tuntutan
mendesak terhadap hakim untuk setidaknya merefleksi dalam tiga hal; yaitu relevansi
sosial teks undang-undang, moralitas hukum, dan rasa keadilan masyarakat. Maka
kedudukan teks undang-undang adalah menjadi instrumen terpenting dalam
mewujudkan keadilan, bukan malah mendekonstruksi keadilan. Karena sesungguhnya
nilai tertinggi cita-cita hukum adalah keadilan substantif dan kepastian hukum
adalah sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan keadilan substantif itu.
Melihat realita wajah
penegakan hukum indonesia selama ini, maka tak ada salahnya jika muncul istilah
“Tong kosong” negara hukum Indonesia. Kalau ada istilah “Tong kosong
nyaring bunyinya” maka tepat kiranya sebagai sebuah wujud analogi penegakan
hukum di negara hukum Indonesia. Sering kali kita mendengar bahwa Indonesia
adalah negara hukum, bahkan tak jarang diutarakan oleh para pemegang kekuasaan
(pemerintah) itu sendiri, tapi nyatanya suara nyaringnya hanya berwujud kosong
belaka, tanpa isi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar