Senin, 17 Desember 2012

Menggugat Indonesia "Kegalauan Menagih Keadilan"


Negara Indonesia ialah negara hukum yakni negara yang menjunjung tinggi sebuah hak asasi manusia dan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka ini di perkuat dengan adanya UUD pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum” yang di mana negara sebagai pelindung hak asasi manusia dan meniadakan absolutisme kekuasaan dengan mengedepankan paham demokrasi sesuai dengan regulasi yang tertulis yakni UU.
Gagasan konsepsi negara hukum sendiri sudah sejak lama digulirkan mulai pada saat zaman yunani kuno, “Plato” telah melahirkan gagasan negara hukum yang terdapat dalam bukunya “nomoi” kemudian diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi “the law”, yang mana hal itu pun juga merupakan pengejawantahan dari konsepsi negara hukum modern dan telah menjadi slogan bangsa di dunia yakni “the rule of law,not of man” yang merupakan tradisi dari kaum “anglosaxon” dan “rechstaat” yang merupakan tradisi dari kaum eropa kontinental.
Secara teoritis apa yang disebut negara hukum modern ialah negara yang dapat mensejahterkan rakyatnya yang telah diamanatkan UUD dalam pembukaan alinea ke- 4, namun pada tataran realitasnya setelah 67 tahun Indonesia merdeka dan 14 tahun era reformasi bergulir dengan 4 kali amandemen, nasib 80% rakyat indonesia sama sekali belum menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya, mereka masih terpenjara dalam kemiskinan, susah mencari makan, tempat tinggal yang berdesakkan, pendidikan yang makin tidak terjangkau dan jika sakit takut setengah mati. Bukan takut kepada jarum suntik atau meja operasi,melainkan takut tidak bisa membayarnya. Apa yang menjadi kegalauan publik kini kian mencuat bagaikan pesawat Jet yang sangat cepat akibat penegakkan hukum (law enforcement) yang lambat dan tidak adil, jika kita flash back ke era orde baru bahwa banyak kasus yang saat ini belum menemui titik terang, seperti kasus tanjung priok, timor-timor, pembunuhan 4 mahasiswa trisakti, semanggi 1 dan 2, dan pembunuhan aktivis munir yang dimana memperlihatkan rekaman jejak peradilan yang bobrok, siklus ini pun terus berulang pada era reformasi seperti kasus century, bima, dan mesuji terlebih lagi pada tingkat korupsi yang terus meningkat sehingga “SONDANG HUTAGALUNG” membakar dirinya akibat strees memikirkan bangsa yang makin lama semakin memburuk.
Negara yang buruk dapat dikatakan karna Proses peradilan yang buruk dan tidak memenuhi rasa keadilan tercermin dalam banyaknya kasus yang belum terselesaikan dan penjatuhan pidana yang dianggap tidak sesuai dengan tindak kejahatannya, biasanya dalam proses peradilan yang di tonjolkan adalah prosedur hukum atau formalisme hukum dan sering mengabaikan aspek pedagogis dengan mengabaikan rasa keadilan, aparat penegak hukum hatinya tidak lagi berseragam merah-putih melainkan warna lain yang mendukung korporasi-korporasi besar.
Mengapa law enforcement masih sulit menemui idealitasnya dan masih saja tidak memenuhi rasa keadilan, yakni karena akumulasi praktik KKN masa lalu yang begitu kuat dan mengakar, terjadi penyanderaan oleh kesalahan-kesalahan masa lalu yang pernah di lakukan, penyanderaan politik masa kini, lalu kejahatan yang koruptif sudah terorganisir dan sistematis. Meminjam perkataan J. Habbermas “Dominasi masa lalu yang selalu kembali sebagai mimpi buruk masih membebani, bila tidak diatasi kekuatan analitis, yaitu mengingat kembali dengan tenang dan memilih secara jernih apa yang telah terjadi lalu menimbang dengan pandangan moral yang memihak. Dalam perspektif ini, penilaian moral seorang hakim dan pertimbangan logika hukum formal (law process) menjadi sangat berarti.
Dalam meminimalisir permasalahan tersebut dan mewujudkan cita-cita negara indonesia ialah perlu adanya Ingatan kolektif, meminjam istilah filosof Dr. Haryatmoko, Ingatan Kolektif adalah menagih ingatan masa lalu yang belum selesai dalam membantu mencegah terulangnya siklus sejenis karena masyarakat tidak akan bisa mentolerir lagi, tetapi dengan perandaian bahwa tidak ada lagi konspirasi publik. Ingatan kolektif dapat terbentuk jika adanya kesamaan Visi dan Misi dari setiap lapisan masyrakat yang ditandai oleh kesatuan, kohesi dan keberlangsungan dalam waktu (Identitas Naratif) dan peran aparat hukum sangat besar dalam menumbuhkan Ingatan kolektif sebagai pembentukkan Identitas negara hukum.
Selain adanya Ingatan kolektif yang dibentuk, sangat diperlukan adanya tataran praktis sebagai bentuk aplikasi dari Ingatan kolektif, maka pendidikan karakter perlu dihadirkan dan direalisasikan melalui metode pembelajaran yang bersinergi antara satuan pendidikan sebagai Instrumen mencerdaskan bangsa secara Intelektual, keluarga sebagai internalisasi nilai-nilai sopan santun, kasih sayang, moralitas dan cinta , lalu lingkungan terutama sekolah sebab dari sinilah perlakuan-perlakuan yang terus menerus dan terstruktur masif yang diharapkan dapat mengubah perilaku, serta masyarakat luas sebagai alat kontrol yang baik demi menjaga transparancy dari sebuah lembaga pendidikan. Sebagai sebuah bangsa yang beradab yang menjunjung tinggi nilai keadilan maka di rasakan perlu pendidikan karakter yang dapat mencetak orang-orang yang bermoral, religius, amanah, jujur, disiplin, demokratis, dan memiliki semangat kebangsaan, serta berani bertanggung jawab (akuntabel), untuk memberantas korupsi, menegakkan HAM, dan menguak kasus-kasus seperti munir, 4 mahasiswa trisakti dan timor-timor, sehingga perlu adanya Ingatan kolektif, agar bangsa kita bukan bangsa yang melupakan sejarah, bukan sebuah negara dengan regulasi yang hanya memajang UU sebagai hiasan. Sehingga perlu adanya Ingatan Kolektif dan pendidikan karakter sebagai corong utama titik balik kesuksesan peradaban bangsa dalam terwujudnya sebuah cita-cita negara indonesia yaitu negara yang menjunjung tinggi sebuah keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar