BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Profesi
merupakan sebuah jabatan dimana orang yang menyandangnya memiliki pengetahuan
khusus, yang berbeda dari sebuah pekerjaan pada umumnya. Karna penyandang
profesi dapat membimbing atau memberi saran, nasihat, atau juga melayani orang
lain dalam bidangnya sendiri.
Sebuah
Profesi Hukum yang notabene bukanlah suatu profesi kemarin dulu. Ia setua
profesi kedokteran yang dimana profesi ini dituntut untuk melayani masyarakat
yang bermasalah dalam hukum, menegakkan keadilan, serta menjawab tekanan
globalisasi dunia. Dari pada itu dalam perkembangannya profesi hukum di
Indonesia selalu di temukan batu sandungan dalam perjalanannya.
Maka,
seorang pengemban profesi hukum haruslah orang yang dapat dipercaya secara
penuh, dan ia tidak akan menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan pribadi,
sebab tugas profesi tersebut merupakan tugas kemasyarakatan yang bersentuhan
langsung dengan nilai-nilai dasar yang merupakan perwujudan martabat dan harkat
manusia.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
perkembangan profesi hukum di Indonesia?
2. Bagaimanakah
peran profesi hukum bagi penegakkan hukum?
3. Bagaimanakah
peran etika dalam profesi hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Profesi Hukum
Profesi berbeda dengan pekerjaan pada
umumnya. Diantara para sarjana belum ada kata sepakat mengenai batasan sebuah
profesi. Hal ini terutama disebabkan oleh belum adanya suatu standar (yang
telah disepakati) secara umum mengenai pekerjaan atau tugas yang bagaimanakah
yang dikatakan dengan profesi tersebut. Sebuah profesi terdiri dari sekelompok
terbatas orang-orang yang memiliki keahlian khusus dan dengan keahlian itu
mereka dapat melakukan fungsinya di dalam masyarakat dengan lebih baik
dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya. Sebuah profesi adalah
sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya memiliki pengetahuan
khusus yang diperolehnya melalui latihan atau training atau sejumlah pengalaman
lain atau mungkin diperoleh sekaligus kedua-duanya. Penyandang profesi dapat
membimbing atau memberi nasihat dan saran atau juga melayani orang lain dalam
bidangnya sendiri.[1]
Menurut Bagir Manan,
bahwa pengertian profesi atau profesional adalah suatu pekerjaan yang dilakukan
secara bebas dan tetap untuk memberi pelayanan berdasarkan keahlian tertentu,
dan menerima imbalan atas pelayanan tersebut.
Sementara, menurut Darji
Darmodiharjo dan Sidharta mengemukakan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan
yang membutuhkan dan memiliki serta memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki
landasan intelektualis
b. Memiliki
standar kualifikasi
c. Pengabdian
masyarakat
d. Mendapat
penghargaan di tengah masyarakat
e. Memiliki
organisasi profesi
Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia
“profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, keterampilan,
kejujuran, dan sebagainya, tertentu”.[2]
Begitu juga halnya dengan
profesi hukum. Setiap profesi hukum mempunyai fungsi dan peranan tersendiri
dalam rangka mewujudkan pengayoman hukum berdasarkan Pancasila dalam
masyarakat, yang harus diterapkan sesuai dengan mekanisme hukum berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam Negara hukum).
Jadi, Profesi hukum adalah
profesi yang melekat pada dan
dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara. Profesi
hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur dalam
ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara untuk mewujudkan keadilan yang
memungkinkan manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar dan tidak perlu
tergantung pada kekuatan fisik maupun finansial. Hal ini dikarenakan keadilan
adalah kebutuhan dasar manusia dan keadilan merupakan nilai dan keutamaan yang
paling luhur serta merupakan unsur esensial dari martabat manusia. Oleh sebab itu, profesi
hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus senantiasa menyadari bahwa
dalam proses pemberian pengayoman hukum, mereka harus saling isi-mengisi demi
tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran yang sesuai dengan soul Negara kita yang
bersifat integralistik dan kekeluargaan.
B. Perkembangan dan Problematika Profesi Hukum
Banyak orang membicarakan hukum, pendidikan
hukum, dan profesi hukum. Nada suara mereka bermacam ragam: ada yang
memprihatinkan, ada yang kecewa, bahkan ada pula yang miris. Pendeknya ada
suara pro, ada pula yang kontra, apakah mereka itu amatir pendidik, atau
profesional. Hampir semua nada mereka mengandung kritik dan praktis jarang
pujian.
Sebelum tahun 1965, almarhum Presiden Soekarno
berpendapat bahwa dengan sarjana hukum, revolusi tidak bisa digerakkan. Apakah
ucapan Bapak Proklamator itu benar atau tidak, biarlah sejarawan yang menilai.
Tetapi satu hal mulai tampak terhadap sarjana hukum mulai diragukan mutu,
wibawa, dan integritasnya, bahkan juga profesinya. Pendeknya, semua kritik dan
cercaan secara terbuka atau terselubung mungkin tersimpul dalam ungkapan Mochtar
Lubis bahwa SH bukan berarti sarjana hukum, melainkan akronim dari “stomme
hond” (anjing bodoh).
Profesi (sarjana) hukum bukanlah suatu profesi
kemarin dulu. Ia setua profesi kedokteran. Namun bilamana diamati profesi
kedokteran, selain bertalian dengan permasalahan kode etik, dapat dicatat bahwa
profesi kedokteran terus mengalami kemajuan. Bagaimana kalau profesi hukum,
profesi ini selalu menjadi sorotan penting terutama di Indonesia bahwa profesi
ini sering kali dijadikan batu loncatan oleh sekelompok orang untuk kepentingannya
sendiri, bukan untuk tujuan yang ada dalam sebuah profesi hukum.[3]
Menurut Mahfud MD bahwa profesi hukum di Indonesia
lebih sering menuai kritik ketimbang pujian. Beberapa kritik diarahkan baik
berkaitan dengan kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai produk hukum yang
berkaitan dengan proses legislasi, dan juga lemahnya penerapan berbagai
peraturan. Kritik ini sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di
Indonesia.
Kebanyakan orang akan bicara bahwa hukum di Indonesia
itu dapat di “beli”, yang menang mereka yang mempunyai kekuasaan, yang punya
uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar.
Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat di beli maka
aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum
secara menyeluruh dan adil. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum,
seperti mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa
proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum
di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini
persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba
yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya
dan kuat ( laws are spider webs, they
hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in
pieces by the rich and powerful).[4]
Menurunnya kualitas sebagai negara hukum di Indonesia
yang termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UUD, itu tidak lepas dari lemahnya profesi
hukum yang tergambar dalam etika para profesional hukum. Menggejalanya
perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan
yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota masyarakat maupun karena
hubungan kerja dalam organisasi profesi, di samping sifat manusia yang
konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang
diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain:
a. Pengaruh sifat
kekeluargaan
b. Pengaruh jabatan
c. Pengaruh konsumerisme
d. Karena lemah iman.
Atas dasar faktor–faktor tersebut, maka
dapat di inventarisasi alasan–alasan mendasar mengapa profesional cenderung
mengabaikan dan bahkan melanggar kode etik profesi. Menurut Sidharta,
polemik tentang moral profesi hukum seringkali berkutat pada perdebatan tentang
rumusan pasal–pasal kode etik. Sebagai warga negara sangatlah prihatin akan
terjadinya banyak pelanggaran hukum di negera ini. Terlebih lagi akhir–akhir
ini hukum di negara kita menjadi sorotan yang tajam. Banyak terjadi kontroversi
mengenai hukum, bermula dari kasus yang ringan hingga kasus besar mulai dari
kasus SANDAL hingga kasus HAMBALANG, sehingga saat ini ada
beberapa kasus yang belum terselesaikan seperti TRISAKTI dan PEMBUNUHAN
MUNIR.
Pelanggaran terhadap kode etik
profesi terkait masalah profesionalisme aparat hukum dalam menjalani profesinya
tersebut dengan sendirinya akan berpengaruh pada penegakan hukum. Penegakan
hukum tertentu tidak akan dapat berjalan karena dalam proses hukum penuh dengan
tindakan–tindakan pencederaan terhadap nilai-nilai hukum. Sehingga dengan pemahaman tersebut maka
kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol
adalah problema “ law in action”
bukan pada tataran “ law in the book”.
C. Persoalan-Persoalan Pokok Dalam Profesi
Hukum
Pelaksanaan
profesi hukum menghadapi persoalan-persoalan pokok antara lain: Pengetahuan
yang harus dimiliki sebagai penentu kualitas pelayanan profesional hukum, dampak
penyalahgunaan profesi hukum, kecendrungan pelaksanaan profesi berkembang
menjadi kegiatan bisnis, menurunnya kesadaran dan kepedulian sosial yang
melanda sebagian jurist (ahli hukum) demi mewujudkan profesi hukum sebagai
profesi yang mulia (officium nobile).
1. Kualitas
Pengetahuan Bidang Ilmu Hukum
Keputusan Dirjen P dan K No. 30/DJ/Kep/1983,
Pasal 1 menentukan bahwa kurikulum inti program pendidikan sarjana bidang hukum
adalah untuk menghasilkan sarjana hukum yang:
(1)Menguasai
hukum Indonesia
(2)Mampu menganalisis
masalah-masalah hukum dalam masyarakat
(3)Mampu
menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah-masalah yang konkret
dengan bijaksana dan tetap berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum.
(4)Menguasai
dasar-dasar ilmiah untuk pengembangan ilmu hukum dan hukum
(5)Mengenal
dan peka akan masalah-masalah keadilan dan masalah-masalah nasional.
Hukum merupakan suatu gejala yang muncul dalam
hidup manusia sebagai norma bagi kehidupan bersama. Sebagaimana hidup manusia
mempunyai banyak seginya, demikian pula dengan norma-norma bagi kehidupan itu.
Hukum itu seluas hidup itu sendiri. Oleh karenanya, terdapat bermacam-macam
pendekatan terhadap gejala hukum, bahkan beberapa macam ilmu. Tugas utama
seorang sarjana hukum ialah menafsirkan undang-undang yang berlaku secara
cermat dan tepat. Namun di samping tugas pokok itu seorang sarjana hukum juga
harus sanggup untuk membentuk undang-undang baru sesuai dengan semangat dan
rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diminta di sini bukan
hanya suatu kemampuan teknis saja, melainkan juga kemampuan menentukan sikap
yang mendapatkan akarnya pada pengetahuan yang mendalam tentang makna hukum,
serta membuktikan diri dalam kerelaan hati untuk menanamkan perasaan hukum
dalam masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.
2. Terjadinya
Penyalahgunaan Profesi
Penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan
yang melanda individu profesional hukum ataupun karena tidak adanya disiplin
diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering kontrast satu sama lain,
yaitu: cita-cita etika yang terlalu tinggi di satu sisi dan praktik-praktik
pelaksanaan pengembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut di
sisi lain. Tak seorang jurist pun yang menginginkan perjalanan kariernya
menemui hambatan sebagai akibat terjerat oleh cita-cita profesi yang terlalu
tinggi dan menghindari pelayanan yang jauh dari semangat mementingkan diri
sendiri. Banyak jurist mempergunakan status profesinya untuk menciptakan uang
atau untuk maksud-maksud politik.[5]
Kalau kita mau mencoba melihat kebelakang pada
peristiwa-perisyiwa yang menyentuh kewibawaan hukum, seperti terjadinya pada
peristiwa beberapa perawat yang mencoba membunuh beberapa pasien tua rewel,
polisi yang memperlakukan tahanan secara tidak manusiawi meskipun tahanan
tersebut belum terbukti bersalah, wartawan atau reporter yang memberitakan
hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas nasional sehingga menyebabkan beberapa
media dicabut SIUP-nya, dsb. Semua peristiwa tersebut dapat mendorong klien
untuk selalu bersikap waspada dan mempertanyakan pelayanan profesional yang
selayaknya diterima.
Dalam upaya preventif penyalahgunaan profesi
hukum, kiranya perlu dirumuskan kanon etika profesional yang dapat menghapus
atau menghambat pengucilan para klien dari hak-haknya baik secara langsung
maupun tidak langsung.
3. Kecendrungan
Profesi menjadi Kegiatan Bisnis
Kecendrungan ini terjadi sedikit-banyak
ditentukan atau disebabkan oleh person-personnya sendiri, baik di dalam
profesinya maupun di luar profesi. Memang tidak kita sangkal bahwa kegiatan
para jurist hampir dapat dihubungkan dengan kehidupan dalam dunia bisnis,
bahkan selalu siap untuk “mengadopsi” penampilan lahiriahnya. Woodrow Wilson
pernah mengamati bahwa “para penasihat hukum sudah lama dalam keadaan bahaya
terdampar karena kepentingan-kepentingan bisnis khusus”. Sudah banyak orang
dalam profesi ini menggunakan kemahirannya untuk menghindarkan diri dari
ketentuan pajak khusus, ketentuan tarif dsb. Sebuah pernyataan pernah muncul
dalam majalah “The Annals” yang diterbitkan oleh The American Academy
of Political and Social Science, menaruh perhatian banyak pada profesi
penasihat hukum dengan menyebutkan bahwa dari berbagai penjuru kita mendengar
keluhan tentang norma-norma peradilan yang semakin diremehkan, etika semakin
melemah, penyalahgunaan biaya yang dibebankan kepada klien, komersialisasi
praktek hukum, bahkan sampai pada adanya pernyataan tuduhan bahwa banyak
penasihat hukum dianggap terlibat dalam kelompok-kelompok yang bersekongkol
dalam tindak kejahatan dan menjatuhkan nama baik profesi tersebut. Dengan kata
lain, kondisi tersebut menunjukan gejala pelecehan hukum dan pemeliharaannya.
Bahkan profesi jurist tidak lagi dianggap sebagai officium nobile (profesi yang
mulia) melainkan profession miners money (profesi penambang uang).[6]
4. Kurangnya
Kesadaran dan Kepedulian Sosial
Terlalu sedikitnya kesadaran sosial dikalangan
para anggota profesi hukum dapat dianggap sebagai sebuah “state of affairs”.
Kondisi ini ditandai oleh adanya gejala di mana orang meninggalkan keyakinannya
tentang wibawa hukum. Hal ini terjadi tidak hanya pada saat kegiatan para
pokrol amatiran mulai dilarang, melainkan juga saat karier para pakar hukum
atau penasihat hukum terkenal mulai diuji sehingga banyak dari antara anggota
profesi hukum mulai menjual jasa mereka demi perolehan penghasilan yang lebih tinggi.
Di luar profesi mungkin mereka menyediakan dirinya bagi kesejahteraan umat
manusia, namun dalam kegiatan-kegiatan profesionalnya mereka justru menjadi
orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya sendiri. Orang-orang yang
terkemuka dalam profesi hukum yang memiliki kedudukan yang baik dalam assosiasi
peradilan mungkin banyak menghabiskan waktunya untuk menasihati orang lain
secara individual atau untuk menjadi penasihat hukum beberapa perusahaan
tentang bagaimana memperoleh sertifikat, sambil mengarahkan praktik hukumnya
dalam cara-cara yang justru bertentangan dengan semangat dan isi hukum.
Kepincangan-kepincangan tersebut di atas tidak akan terjadi bila para penegak
hukum dan keadilan sebagai penyandang profesi membatasi diri pada perkara-perkara
teknis, menutup segala bentuk permainan “pintu belakang”, serta
menghindarkan diri dari tindakan yang menyimpang dari ketentuan hukum yang
berlaku, untuk kemudian memupuk rasa kesadaran yang tinggi tentang kepentingan
anggota-anggota masyarakat pada umumnya. Jadi, ketika seseorang dalam
menjalankan sebuah profesi hukum harus senantiasa menjaga semangat TRI DHARMA
PROFESI yaitu: Kebenaran, keadilan, dan Kemanusiaan.[7]
D. Profesi
Hukum Bagi Penegakan Hukum di Indonesia
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti
luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui
prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative
desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas
lagi, kegiatan pengakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan
agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para
subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar
ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit,
penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran
atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih
sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat
kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan. Karena
itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam
proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa pengacara dan hakim. Sehingga
seorang profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal,
sebagaimana penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional kepada
masyarakat. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang
atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya
masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung
aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak
hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan
kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan
hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya belum terinstitusionalisasikan
secara rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua perspektif
tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya
satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang
terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Oleh sebab itu, profesi hukum perlu ditata kembali dan
ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi:
a.
legislator (politisi),
b.
perancang hukum (legal drafter),
c. advokat,
d.
notaris,
e.
pejabat pembuat akta tanah,
f.
polisi,
g.
jaksa,
h.
panitera,
i.
hakim, dan
j.
arbiter atau wasit.
Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme
masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan
standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu
juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus
menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
profesional aparat hukum tersebut. Agenda pengembangan kualitas profesional di
kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai
administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut. Seperti di
pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi
peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah
dan berkesinambungan. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum
ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Di
samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dilakukan
melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya masing-masing, seperti
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Persatuan Advokat Indonesia (PERADI), Ikatan
Notaris Indonesia (INI), dan sebagainya. Di samping itu, agenda penegakan hukum
juga memerlukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang memenuhi dua syarat.
Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk
tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemimpinan tersebut
diharapkan dapat menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing
mengenai integritas kepribadian orang yang taat aturan.[8]
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum
adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization
and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum dapat
diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan
dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan profesi
hukum sebagai profesi yang mulia. Profesi hukum sebagai profesi yang mulia (officium
nobile) harus didasarkan pada KEJUJURAN, KEBENARAN, dan KEPEKAAN untuk
segala permasalahan sosial yang ada, bukan saja hukum harus diterapkan,
melainkan juga keadilan harus ditegakkan. Apalah artinya seorang aparat hukum
yang pandai, terampil, luwes, dan murah senyum kalau ia tidak jujur,
perilakunya tidak benar, serta sikap etisnya tidak dapat dipertanggungjawabkan,
baik dari segi moral, apalagi dari segi agama. Maka dari itu perlunya etik
profesi menjadi suatu syarat yang bersifat conditio sine qua non dalam profesi
hukum.
E. Peran
Etika dalam Profesi Hukum
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan
dilaksankan oleh aparatur hukum dalam pemerintahan suatu negara. Kalau diadakan
penelusuran sejarah, maka akan dapat dijumpai bahwa etika telah dimulai oleh Aristoteles,
hal ini dapat dibuktikan dengan bukunya yang berjudul ETHIKA NICOMACHEIA.
Dalam buku ini Aristoteles menguraikan bagaimana tata pergaulan, dan
penghargaan seseorang manusia kepada manusia lainnya, yang tidak didasarkan
kepada egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan atas hal-hal
yang bersifat altruistis, yaitu memperhatikan orang lain dengan demikian juga
halnya kehidupan bermasyarakat, untuk hal ini Aristoteles mengistilahkannya
manusia itu zoon politicon.
Etika profesi hukum ialah Ilmu tentang
kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan
seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam
suatu negara sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesia. Etika dimasukkan dalam disiplin pendidikan
hukum disebabkan belakangan ini terlihat adanya gejala penurunan etika
dikalangan aparat penegak hukum, dapat dilihat pada saat para aparat penegak
hukum yang hanya mementingkan uang, popularitas, dan mengabaikan kepentingan
umum, yang mana hal ini tentunya merugikan bagi pembangunan masyarakat Indonesia.[9]
Profesi hukum dewasa ini memiliki daya tarik
tersendiri, akibat terjadinya suatu paradigma baru dalam dunia hukum sehingga
menyebabkan konsorsium ilmu hukum memandang perlu memiliki etika dan moral oleh
setiap profesi hukum, apalagi dewasa ini isu pelanggaran hak asasi manusia
semakin marak diperbincangkan dan menjadi wacana publik yang sangat menarik.
Dengan adanya etika profesi hukum diharapkan lahirlah nantinya sarjana-sarjana
hukum yang profesional dan beretika. Pengembangan profesi hukum haruslah
memiliki keahlian yang berkeilmuan khususnya dalam bidang itu, oleh karena itu
setiap profesional harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga
masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum. Untuk itu tentunya
memerlukan keahlian dan berkeilmuan.
Seseorang pengemban profesi hukum haruslah orang yang
dapat dipercaya secara penuh, bahwa ia profesional hukum tidak akan
menyalahgunakan situasi yang ada. Pengembangan profesi itu haruslah dilakukan
secara bermartabat, dan ia harus mengerahkan segala kemampuan pengetahuan dan
keahlian yang ada padanya, sebab tugas profesi hukum adalah merupakan tugas
kemasyarakatan yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai dasar yang
merupakan perwujudan martabat manusia, dan oleh karena itu pulalah pelayanan
profesi hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat.
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika
profesi adalah sebagai sikap hidup yang mana berupa kesediaan untuk memberikan
pelayanan profesional dibidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan
penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang
berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan
disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah di dalam melaksanakan
profesi hukum kita harus mengutamakan etika dalam setiap berhubungan dengan
masyarakat khususnya warga masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum. Selain
itu dalam pelaksanaan tugas profesi hukum itu selain bersifat kepercayaan yang
berupa hablun min al-nas (hubungan horizontal) juga harus disandarkan kepada
hablun min Allah (hubungan vertikal), yang mana hablun min Allah itu terwujud
dengan cinta kasih, perwujudan cinta kasih kepada-Nya tentunya kita harus
melaksanakan sepenuhnya atau mengabdi kepada perintah-nya yang antara lain cinta
kasih kepada-nya itu direalisasikan dengan cinta kasih antar sesama manusia,
dengan menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka otomatis
akan melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi hukum sebagai realisasi
sikap hidup dalam mengemban tugas yang pada hakikatnya merupakan amanah profesi
hukum. Dan dengan itu profesi hukum memperoleh landasan keagamaan, maka ia
(pengemban proefsi) akan melihat profesinya sebagai tugas kemasyarakatan dan
sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaan kepada Allah SWT dengan tindakan
nyata. Menyangkut etika profesi hukum ini di ungkapkan oleh Arif Sidhrta
bahwa etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup
dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi yang harus didasarkan pada
Pancasila yang merupakan ideologi negara kita.[10]
Dari uraian diatas terlihat betapa eratnya hubungan
antara etika dengan profesi hukum, sebab dengan etika inilah para profesional
hukum dapat melaksanakan tugas (pengabdian) profesinya dengan baik untuk
menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang pada akhirnya akan melahirkan
ketertiban, kedamaian yang berkeadilan yang merupakan kebutuhan pokok manusia,
baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara, sebab
dengan situasi ketertiban dan kedamaian yang berkeadilanlah, manusia dapat
melaksanakan aktivitas pemenuhan hidupnya, dan tentunya dalam situasi demikian
pulalah proses pembangunan dapat berjalan sebagaimana diharapakan. Keadilan
adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur, dan merupakan unsur penting dari
harkat dan martabat manusia. Hukum, kaidah, peratuiran-peraturan, norma-norma,
kesadaran, etika dan keadilan selalu bersumber kepada penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia adalah sebagai titik tumpu, serta muara dari hukum. Sebab hukum itu
sendiri dibuat adalah untuk manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu etika yang didasari Agama dan Pancasila
merupakan sebuah solusi dalam penyelengaraan, penegakan, perdamaian, untuk
terwujudnya keadilan yang harus selalu diupayakan oleh para pengemban profesi
hukum sebagai profesi yang mulia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Profesi hukum merupakan sebuah profesi yang
melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan
suatu negara yang mempunyai fungsi dan peranan tersendiri dalam rangka mewujudkan
pengayoman hukum berdasarkan Pancasila dalam masyarakat, yang harus diterapkan
sesuai dengan mekanisme hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam perkembangannya profesi hukum selalu
mendapat sorotan dengan menurunnya profesionalisme aparatur hukum dalam
penegakkan hukum yang berkeadilan. Banyak persoalan-persoalan yang di hadapi
aparatur hukum yakni kualitas pengetahuan bidang ilmu hukum, terjadinya
penyalahgunaan profesi, kecendrungan profesi menjadi kegiatan bisnis, serta kurangnya
kesadaran dan kepedulian sosial. Oleh sebab itu, profesi hukum perlu ditata kembali dan
ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya dengan meningkatkan kualitas
profesionalisme masing-masing profesi tersebut maka diperlukan sistem
sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem
kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan dan
pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Karena itu Profesi hukum sebagai profesi yang
mulia (officium nobile) harus didasarkan pada sebuah KEJUJURAN,
KEBENARAN, dan KEPEKAAN untuk segala permasalahan sosial yang ada, bukan saja
hukum harus diterapkan, melainkan juga keadilan harus ditegakkan. Oleh sebab itu etika merupakan salah satu
solusi dalam penyelengaraan, penegakan, perdamaian, untuk terwujudnya keadilan
yang harus selalu diupayakan oleh para pengemban profesi hukum sebagai profesi
yang mulia.
DAFTAR PUSTAKA
K. Lubis, Suhrawardi. 1994. Etika
Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Sahetapy, J.E. 2009. Runtuhnya
Etik Hukum. Jakarta : Kompas.
Supriadi. 2006. Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta :
Sinar
Grafika.
Sumaryono. 1995. Etika Profesi
Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum).
Yogyakarta
: Kanisius.
http://Fungsi
Etika bagi Profesi Hukum.com
http://Peran
Pelaku Profesi Hukum di Indonesia.com
http://Perkembangan Profesi Hukum di Indonesia.com
[1]
Suhrawardi K. Lubis SH, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1994), hlm. 10.
[2] Supriadi
SH.M.Hum, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006),hlm. 16-17.
[3] Prof.
Dr. J.E. Sahetapy SH.,M.A Runtuhnya Etik Hukum, (Jakarta: Kompas, 2009),
hlm.77-78.
[4] http://Perkembangan Profesi Hukum di
Indonesia.com
[5] E.
Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum),
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm.70-74
[6] Ibid,
hlm. 75-77.
[7] Ibid,
hlm. 76-78.
[8] http://Peran Pelaku
Profesi Hukum di Indonesia.com
[9]
Suhrawardi K. Lubis SH, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1994), hlm. 3-4.
[10] http://Fungsi Etika
bagi Profesi Hukum.com